Semua Butuh Waktu, dan Jikalau Rindu Tidak Harus Bertemu ‘kan?

Jurnalis: Inayah
Editor: Hawa Riyatin Zahra

Potret rumah sederhana dengan sedikit tanaman di depannya (Sumber: Pinterest)

Bagian 2: Aku Belum Siap Untuk Pulang

Sang mentari muncul dengan malu-malu untuk menandakan bahwa malam telah berlalu dan sang rembulan sudah berganti. Pagi yang cerah dengan mentari menyinari bumi, terlihat di sebuah kamar kos kecil, seorang gadis masih tertidur pulas.  Dia adalah Aira Bunga Primavera, gadis rantau berasal dari Lombok yang sekarang sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi kota Solo. Dia menggambil Jurusan Jurnalistik.

Matahari mulai naik dan memancarkan cahaya terang hingga membuat gadis itu terbangun dari tidurnya. Dia melihat ke arah jendela, ternyata hari sudah pagi. Dia bangun dari tempat tidur dan melihat jam dinding yang tepat menunjukan pukul 07.00 WIB.

“Ahh telat,” teriak gadis itu sambil berlari menuju kamar mandi. Suara percikan air yang menghantam lantai terdengar jelas, menandakan bahwa orang di dalamnya sedang terburu-buru.

Beberapa saat kemudian Aira keluar dari kamar mandi dan mulai bersiap-siap.  Dia sudah benar-benar terlambat. Apa lagi hari ini jadwal mata kuliah dosen galak. Dia mulai berlari menuju kampus. Saat sudah sampai di pintu kelas, Aira agak was-was, karena rupanya Sang dosen sudah ada di dalam kelas. Dia pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu.

Tuk tuk tuk

“Assalamualaikum Pak, maaf telat,” ujarnya dengan nada suara rendah.

“Waalaikumsalam, kenapa telat?” tanya sang dosen yang memiliki kumis tebal dengan wajah garang itu.

“Maaf Pak, tadi saya kesiangan,” jawabnya dengan wajah yang menunduk ke bawah melihat lantai.

“Ya sudah, kamu boleh masuk tapi lain kali jangan telat lagi,” ujar sang dosen.

Aira pun berjalan ke arah salah satu bangku kosong yang di sebelahnya terlihat seorang perempuan terus melambaikan tangan ke arahnya. Perempuan itu adalah Kiara Anastasya, temannya sekelas. Mereka sudah berteman dari mulai mahasiswa baru hingga sekarang.

“Ai, sumpah tadi aku takut banget kamu dimarahin sama Pak Burhan,” ujar Kiara dengan suara pelan.

“Sama, aku juga tadi mikirnya gitu,” Aira menjawab dengan suara tak kalah pelan, dia juga takut di tegur oleh dosen yang terkenal galak itu.

“Iya, tumben banget hari ini nggak marah-marah,” ujar Kiara.

“Biasanya telat atau salah jawab dikit aja langsung marah-marah tuh,” lanjutnya.

“Mungkin hari ini lagi bagus moodnya,” jawab Aira sambal mulai mengeluarkan buku dari tasnya.

“Udah, jangan ngajak ngobrol mulu nanti kalau diliat kena marah kita,” lanjut Aira memperingati.

“Iya,” balas Kiara sambil melihat ke arah depan. Mereka pun mulai fokus mendengarkan penjelasan dari Pak Burhan terkait materi hari ini. Hingga tidak terasa jam mata kuliah pun berakhir. Para mahasiswa yang ada di dalam kelas mulai keluar satu persatu dari kelas.

“Pergi makan yuk, Ai,” ajak Kiara.

“Nggak ah, aku mau langsung balik, nanti aku masak aja di kos,” ujar Aira sambil merapikan buku dan memasukannya ke dalam tas.

“Ya sudah kalau gitu, aku duluan ya,” Kiara berjalan menuju pintu keluar sambil melambaikan tangannya ke arah Aira.

Aira pun keluar dari kelas dan berjalan untuk pulang kembali ke kos. Karena hari ini ibu akan menghubunginya.

Saat Aira sampai di dalam kamar kosnya tiba-tiba suara dering handphone memecahkan kesunyian. Dia melihat ke arah handphonenya dan ternyata itu adalah ibunya. Dia pun mengangkat panggilan tersebut.

Assalamualaikum,” terdengar suara lembut di seberang sana.

Waalaikumsalam” Aira menjawab salam dari ibunya dengan nada suara yang lembut.

Gimana kabarnya nak?” tanya Sang ibu.

“Baik Bu, ini Ai baru pulang kuliah,” ujar Aira sambil duduk di atas kasur.

“Ibu juga gimana kabarnya, baik kan?” lanjut Aira.

“Ibu baik kok Nak” jawab Sang ibu.

“Tahun ini kamu pulang nggak, Nak?” tanya ibu.

“Mungkin nggak Bu, soalnya tahun ini kuliahku jadwalnya makin sibuk,” balas Aira. Tahun ini adalah tahun ketiga dia berada di kota Solo. Namun dia sama sekali belum pernah pulang selama waktu tiga tahun itu.

“Ya sudah kalau gitu Nak, belajar yang rajin supaya cepat lulusnya, biar bisa pulang.” terdengar suara sendu dari seberang sana. Sepertinya Sang ibu benar-benar sedih akan jawaban anaknya tadi.

“Kalau gitu ibu tutup dulu ya teleponnya, jangan lupa makan,” lanjutnya, setelah itu dia mematikan panggilan telepon itu.

“Ai belum siap pulang Bu,” ujarnya sedih sambil menatap ke arah handphonenya. 

Ternyata benar kata orang, bahwa luka kehilangan itu belum ditemukan obatnya. Terlalu banyak kenangan sehingga membuat beberapa orang takut untuk menoleh ke arah belakang. Tiga tahun lalu sebelum Aira memutuskan untuk melanjutkan studinya di kota Solo, Sang ayah selalu melarangnya untuk pergi terlalu jauh. Alasannya sederhana, laki-laki paruh baya itu tidak bisa jauh dari anaknya.

Tetapi sebelum hari kelulusannya Sang ayah meninggal dunia karena kecelakaan tunggal. Itu membuat luka membekas sampai hari ini. Aira belum siap. Waktu tiga tahun melarikan diri ini belum cukup untuk membuat dia siap untuk pulang dan bertemu dengan banyak kenangan masa lalu.

“Ayah seharusnya tahu, setiap malam aku selalu merasa takut untuk menyambut hari esok. Setiap saat aku merindukanmu, merindukan ibu, dan rumah kita beserta kenangan di dalamnya.” batin gadis itu sambil memeluk handphone dalam dekapannya.

Bersambung……….

 

Lebih baru Lebih lama