Ada Apa Dengan Gagah? Episode 2

Jurnalis: Aura Aulia Miftakhul Risqi
Editor: Hawa Riyatin Zahra

Ilustrasi seorang anak laki-laki yang sedang bersedih. (Sumber: merrillfotonews.com)

Gagah, seorang siswa yang sejak jumpa pertama sudah menarik perhatian Melly. Jujur saja paras dan wajah Gagah juga mendukung penampilannya. Dia anak yang tampan, serta memiliki senyum manis, memikat siapa saja yang berpapasan dengannya.

Kalau diingat-ingat ada momen di saat Gagah pernah beradu argument dengan Melly.

“Habis dari mana kamu, kok nggak ikut pramuka?” tanya Melly.

“Lomba kak,” jawab Gagah asyik menyeruput mie instant cup di depan anak-anak yang lain.

“Loh kamu ikut lomba?” tanya Melly tak percaya. Pasalnya anak di depannya ini memang usil dan tengil. Selalu saja banyak membantah tiap dia menjelaskan materi. Eh tiba-tiba malah ikut lomba.

“Iya dong, aku mah ganteng. Makanya ikut lomba story telling,” jawab Gagah sok dengan gaya menyibak rambut ke belakang. Jangan lupakan senyuman manis yang melengkapi pose konyolnya itu.

Kepedean banget,” batin Melly melihat bocah itu.

Memori itu berputar kembali di ingatannya. Rasa gelisah dan khawatir membuncah di hati Melly menatap keadaan Gagah saat ini. Ruang kantor menjadi saksi bisu di mana hujatan demi hujatan diberikan oleh para guru kepada Gagah. Semua kisah buruk tentang Gagah mulai mencuat satu demi satu.

Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Seakan semua lomba kejuaraan yang pernah Gagah ikuti tak bernilai di mata para guru. Melly hanya diam. Dia hanya tak tahu harus bagaimana.

Tidak berselang lama, ibunda Langit hadir di ruang kantor.

“Diapain kamu sama dia?” tanya ibu Langit dengan nada menusuk. Tatapan matanya tajam ke arah Gagah. Dia mendekati dan mengecek keadaan putranya. Gagah hanya diam menatap bawah. Menatap sepatunya dengan tatapan sendu.

“Biasa Bu, anak-anak memang suka berantem. Langit nggak kenapa-kenapa kok Bu,” sahut seorang guru menenangkan ibunda Langit yang sudah naik pitam.

“Ibumu nggak pernah ngajari kamu sopan-santun ya? Ngapain mukul anak orang hah?” tanya Ibunda Langit.

Mendengar kata “Ibu” disebut. Gagah lantas menoleh ke arah ibunda Langit. Matanya melotot marah ke arah perempuan itu. Tatapan berani itu lantas membuat Melly takut. Bocah itu pasti akan meledak sebentar lagi.

“Bu, mohon maaf. Kita tunggu orang tua Gagah dahulu saja. Kurang etis rasanya kalau tiba-tiba menyalahkan satu pihak,” potong Melly mencoba menengahi. Dia tak ingin situasi Gagah tambah terpojokkan.

Setelah hampir satu jam menunggu, datanglah Ayah Gagah. Badannya tegap dan tinggi. Sekilas dapat terlihat bahwa wajah Gagah turunan dari sang Ayah.

“Saya mohon maaf Bu, Gagah nggak bermaksud gimana-gimana. Namanya juga anak-anak, kalau main kadang sering kelewatan,” ujar Ayah Gagah sambil hendak menjabat tangan Ibunda Langit.

“Lama banget sih Pak, saya nunggu hampir satu jam loh di sini,” jawab Ibunda Langit sambil menepis jabatan tangan Ayah Gagah.

“Lain kali anak Bapak diajarin tata krama, biar nggak jadi preman. Kan kasian anak saya jadi sasaran. Udah saya mau pulang,” tambahnya sembari menarik Langit untuk pulang.

“Dasar anak nggak tau diuntung, Ayah kan udah bilang jangan bikin onar kalo di sekolah. Ini udah ke berapa kali Papa dipanggil?” ujar sang Ayah dengan berbisik namun masih bisa terdengar oleh Melly.

“Kamu udah minta maaf ke Langit?” tanya sang Ayah. Gagah mengangguk lesu.

“Ayo pulang dan pamit dengan gurumu,” ajak sang Ayah.

Dari parkiran motor, Melly menatap kepergian mereka dengan tatapan sendu. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Gagah. Kenapa perilaku anak itu bisa seperti ini.

“Orang tua Gagah itu cerai Kak, papanya suka mukul mamanya. Mamanya sekarang koma dan dirawat di rumah sakit. Makanya, Gagah sering bolos karena nemenin Mamanya di rumah sakit. Kata ibuku ini rahasia. Tapi, Kakak kelihatan sedih liat Gagah,” ujar Gendhis salah satu teman sekelas Gagah.

Tiba-tiba dia menggenggam tangan Melly dengan erat. Seolah dia tahu kalau hati gadis itu hancur melihat Gagah yang diperlakukan tidak baik oleh ayahnya sendiri.

“Kok kamu bisa tahu?” sembari menyamakan tinggi dengan Gendhis. Namun, gadis manis berlesung pipit itu justru memeluk Melly.

“Dia tetanggaku kak, dulu aku juga sering denger barang pecah dari rumah Gagah. Kebetulan dia anak tunggal. Jadi papanya agak keras ke dia. Makanya Gagah itu suka kasar dan berantem di sekolah. Mungkin karena lihat perilaku papanya,” jelas Gendhis panjang lebar.

Aku diam, air mataku mengalir tanpa sadar. Bocah sekecil Gagah sudah menyaksikan tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Trauma psikologis yang dialaminya tentu sangat memprihatinkan.

Lantas apakah para guru tidak peduli dengan ini? Kenapa mereka hanya menghakimi Gagah? Padahal mereka belum tahu penyebab permasalahan bocah itu. Harusnya para guru lebih aware pada murid berprestasi namun problematik. Bukan hanya menuntut prestasi tanpa memerdulikan kesusahan yang mereka rasakan.

Ya bagaimana pun itu, Melly hanya berharap yang terbaik untuk Gagah. Semoga laki-laki kecil itu tidak menanggung banyak luka batin lagi. Melly akan selalu berdoa untuk Gagah. Karena untuk saat ini, dia belum memiliki kapabilitas untuk menolong Gagah secara langsung.

Lebih baru Lebih lama