Editor: Hawa Riyatin Zahra
![]() |
Ilustrasi seorang
anak laki-laki yang sedang bersedih. (Sumber: merrillfotonews.com) |
Gagah,
seorang siswa yang sejak jumpa pertama sudah menarik perhatian Melly. Jujur
saja paras dan wajah Gagah juga mendukung penampilannya. Dia anak yang tampan, serta memiliki senyum manis,
memikat siapa saja yang berpapasan dengannya.
Kalau
diingat-ingat ada momen di saat Gagah pernah beradu argument dengan Melly.
“Habis dari mana kamu, kok nggak ikut pramuka?” tanya
Melly.
“Lomba
kak,” jawab Gagah asyik menyeruput mie instant cup di depan anak-anak
yang lain.
“Loh kamu ikut lomba?” tanya Melly tak percaya. Pasalnya
anak di depannya ini memang usil dan tengil. Selalu saja banyak membantah tiap dia menjelaskan materi.
Eh tiba-tiba malah ikut lomba.
“Iya
dong, aku mah ganteng. Makanya ikut lomba story telling,” jawab Gagah
sok dengan gaya menyibak rambut ke belakang. Jangan lupakan senyuman manis yang
melengkapi pose konyolnya itu.
“Kepedean
banget,” batin Melly melihat bocah itu.
Memori
itu berputar kembali di ingatannya. Rasa gelisah dan khawatir membuncah di hati
Melly menatap keadaan Gagah saat ini. Ruang kantor menjadi saksi bisu di mana hujatan demi hujatan diberikan oleh
para guru kepada Gagah. Semua kisah buruk tentang Gagah mulai mencuat satu demi
satu.
Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Seakan
semua lomba kejuaraan yang pernah Gagah ikuti tak bernilai di mata para guru. Melly
hanya diam. Dia hanya tak tahu harus bagaimana.
Tidak
berselang lama, ibunda Langit hadir di ruang kantor.
“Diapain kamu sama dia?” tanya ibu Langit dengan nada
menusuk. Tatapan matanya tajam ke arah Gagah. Dia mendekati dan mengecek
keadaan putranya. Gagah hanya diam menatap bawah. Menatap sepatunya dengan
tatapan sendu.
“Biasa Bu, anak-anak memang suka berantem. Langit nggak
kenapa-kenapa kok Bu,” sahut seorang guru menenangkan ibunda Langit yang sudah
naik pitam.
“Ibumu nggak pernah ngajari kamu sopan-santun ya? Ngapain
mukul anak orang hah?” tanya Ibunda Langit.
Mendengar kata “Ibu” disebut. Gagah lantas menoleh ke
arah ibunda Langit. Matanya melotot marah ke arah perempuan itu. Tatapan berani
itu lantas membuat Melly takut. Bocah itu pasti akan meledak sebentar lagi.
“Bu, mohon maaf. Kita tunggu orang tua Gagah dahulu saja.
Kurang etis rasanya kalau tiba-tiba menyalahkan satu pihak,” potong Melly
mencoba menengahi. Dia tak ingin situasi Gagah tambah terpojokkan.
Setelah hampir satu jam menunggu, datanglah Ayah Gagah.
Badannya tegap dan tinggi. Sekilas dapat terlihat bahwa wajah Gagah turunan
dari sang Ayah.
“Saya mohon maaf Bu, Gagah nggak bermaksud gimana-gimana.
Namanya juga anak-anak, kalau main kadang sering kelewatan,” ujar Ayah Gagah
sambil hendak menjabat tangan Ibunda Langit.
“Lama banget sih Pak, saya nunggu hampir satu jam loh di sini,”
jawab Ibunda Langit sambil menepis jabatan tangan Ayah Gagah.
“Lain kali anak Bapak diajarin tata krama, biar nggak
jadi preman. Kan kasian anak saya jadi sasaran. Udah saya mau pulang,”
tambahnya sembari menarik Langit untuk pulang.
“Dasar anak nggak tau diuntung, Ayah kan udah bilang
jangan bikin onar kalo di sekolah. Ini udah ke berapa kali Papa dipanggil?”
ujar sang Ayah dengan berbisik namun masih bisa terdengar oleh Melly.
“Kamu udah minta maaf ke Langit?” tanya sang Ayah. Gagah
mengangguk lesu.
“Ayo
pulang dan pamit dengan gurumu,” ajak sang Ayah.
Dari parkiran motor, Melly menatap kepergian mereka
dengan tatapan sendu. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Gagah. Kenapa perilaku
anak itu bisa seperti ini.
“Orang tua Gagah itu cerai Kak, papanya suka mukul
mamanya. Mamanya sekarang koma dan dirawat di rumah sakit. Makanya, Gagah
sering bolos karena nemenin Mamanya di rumah sakit. Kata ibuku ini rahasia.
Tapi, Kakak kelihatan sedih liat Gagah,” ujar Gendhis salah satu teman sekelas
Gagah.
Tiba-tiba
dia menggenggam tangan Melly dengan erat. Seolah dia tahu kalau hati gadis itu
hancur melihat Gagah yang diperlakukan tidak baik oleh ayahnya sendiri.
“Kok
kamu bisa tahu?” sembari menyamakan tinggi dengan Gendhis. Namun, gadis manis
berlesung pipit itu justru memeluk Melly.
“Dia
tetanggaku kak, dulu aku juga sering denger barang pecah dari rumah Gagah. Kebetulan dia anak tunggal. Jadi papanya agak keras ke
dia. Makanya Gagah itu suka kasar dan berantem di sekolah. Mungkin karena lihat
perilaku papanya,” jelas Gendhis panjang lebar.
Aku diam, air mataku mengalir tanpa sadar. Bocah sekecil
Gagah sudah menyaksikan tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya
sendiri. Trauma psikologis yang dialaminya tentu sangat memprihatinkan.
Lantas apakah para guru tidak peduli dengan ini? Kenapa
mereka hanya menghakimi Gagah? Padahal mereka belum tahu penyebab permasalahan
bocah itu. Harusnya para guru lebih aware pada murid berprestasi namun
problematik. Bukan hanya menuntut prestasi tanpa memerdulikan kesusahan yang
mereka rasakan.
Ya bagaimana pun itu, Melly hanya berharap yang terbaik
untuk Gagah. Semoga laki-laki kecil itu tidak menanggung banyak luka batin
lagi. Melly akan selalu berdoa untuk Gagah. Karena untuk saat ini, dia belum
memiliki kapabilitas untuk menolong Gagah secara langsung.