3 Culture Shock Mahasiswa Rantau yang Kuliah di Solo

Jurnalis: Rofi’uddarojah Salsabila
Editor: Hawa Riyatin Zahra
Ilustrasi Berbagai Cullture Shock (Sumber: google)

Rencang.id Bagi Sebagian orang Kota Solo dipilih sebagai salah satu rujukan untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain terkenal dengan wisata kulinernya, Solo juga dikenal sebagai pusat pendidikan, nampak dari banyaknya kampus negeri dan swasta. Kondisi seperti inilah membuat beberapa mahasiswa luar daerah tertarik untuk berkuliah di Solo.

Menjadi mahasiswa rantau yang memutuskan berkuliah di luar daerahnya, tentu memiliki beberapa culture shock yang membuat, hah?” sekaligus terkejut dengan perbedaannya. Kali ini, reporter Rencang.id berhasil mewawancarai tiga narasumber yang berasal dari luar Pulau Jawa yang sedang berkuliah di salah satu universitas di Solo pada Jumat (1/10/24).

Lebih jelasnya, berikut 3 culture shock menurut mahasiswa rantau di Kota Solo:

1.      Komunikasi Masyarakat Solo Cenderung Menggunakan bahasa Jawa

Benar sih, masyarakat Solo berasal dari Suku Jawa yang membuat bahasa Jawa menjadi bahasa sehari-hari. Uniknya, bahasa Jawa terdiri dari Jawa Halus dan Jawa Kasar yang cukup membingungkan bagi para mahasiswa luar Jawa. Hal ini diungkapkan oleh mahasiswa asal Ternate, Maluku Utara, Najla Firishta.

“Soalnya kan, di Ternate berbagai etnis datang, ya, jadi pakai bahasa Melayu untuk memudahkan semua orang ketika berkomunikasi. Kalau di Solo, kan, pakainya bahasa Jawa yang sangat beda gitu pengucapannya, jadi, kaget juga,” jelasnya.

2.      Cara Berinteraksi Masyarakat Solo

Masyarakat Solo sering menggunakan budaya “Kulo Nuwun” agar lebih sopan dalam berinteraksi maupun bertegur sapa. Lebih ramah dan humble ketika mengobrol, juga nada bicara yang lebih halus. Gaya komunikasi ini membuat satu narasumber kami asal Sumatera, yaitu Ferdika Adi membagikan cerita culture shocknya.

“Di daerah Sumatera, orang terbiasa bicara lebih lantang atau langsung. Kalau di sini, mungkin, disalah pahami kasar ya,” ungkap Ferdika.

Memang, bahasa Jawa itu, sering basa-basi dulu. Rasanya kurang etis kalau kita berbicara pada seseorang langsung pada intinya, biasanya menyapa dulu atau sekadar memberi salam untuk memulai obrolan. Gaya komunikasi ini menjadikan Ferdika cukup mengalami culture shock saat pertama kali datang ke Solo. Sehingga harus belajar banyak mengenai etika komunikasi masyarakat Solo.

3.      Makanan Serba Manis

Kalau nggak manis, ya bukan Solo. Cita rasa makanan dominan manis memang sudah melekat pada lidah masyarakat Solo.

Menurut narasumber kami yang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur, Dalila Nazla, menceritakan, “Pernah waktu itu, beli pecel, eh tapi pas dimakan sambal pecelnya, itu kerasa manis banget. Bikin aku kurang suka, jadi sekarang udah hafal nih, warung makan yang masakannya manis dan aku hindari”.

Lantaran daerah Ponorogo memiliki rasa makanan yang gurih, alhasil, Dalila harus memilih-milih warung yang memiliki rasa sesuai dengan lidahnya. “Kalo di sini (Solo) pasti ada manisnya dan menurutku aneh, jadi harus pilih-pilih warung kalau cari makan,” tambahnya.

Nah, itu tadi 3 culture shock yang dialami narasumber kami kala menjadi mahasiswa rantau di Solo. Penting bagi mahasiswa perantauan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Kenali budaya, adat, dan norma yang berlaku di masyarakat sekitar. Dengan sikap yang positif dan adaptasi yang baik menjadikan kota perantauan sangat menyenangkan. 


Lebih baru Lebih lama