Ilustrasi ayah dan anak sedang duduk bersama (Sumber: Pinterest) |
Rengekan
tangis seorang bayi perempuan menambah pilu Ratna ketika melihat kotak susu
yang seharusnya dia berikan pada putrinya nyatanya hanya sebuah kardus tanpa
bubuk susu di dalamnya.
“Sayang,
sebentar ya, Ayah akan pulang membawa
susu untuk adik, ya.”
Bara
hanya dapat mendengar adiknya terus menangis, dengan Sang Ibu yang terus
melihat ke arah pintu rumah berharap Ayah pulang membawa segepok uang. Putra
pertama keluarga itu, sudah terbiasa dengan kondisi ini, di mana untuk mencukupi
kebutuhan makan saja, terkadang hanya angan untuk mereka.
“Buk,
Bara cari pinjaman lagi, ya?” ujarnya.
Ratna
menghampiri Bara, dia mengelus lengan putra pertamanya itu dengan tatapan
sendu.
“Bara
putra ibu, Bara belajar saja ya, Nak. Besok ujian kelulusan, bukan? Maaf adik
menganggu, ya?”.
Tinggi
Ratna yang memang hanya sebahu Bara, membuat laki-laki itu dengan mudah
mendekap ibunya.
“Setelah
lulus, Bara bekerja saja, ya, Buk,” Ratna langsung menggeleng, dia mengenggam
tangan Bara sembari menahan air matanya.
“Jangan!
Kuliah adalah kesempatan kamu untuk keluar dari neraka ini. Bahkan jika kamu
terlena di luar sana nanti, Ibu tidak marah. Nak, maaf karena kamu terlahir
dari keluarga ibu dan bapak yang miskin, ini.”
Tangan
laki-laki berumur 17 tahun itu justru mengepal, dia selalu marah ketika ibunya
merendah seperti ini. Sungguh, walau selalu kekurangan, dia tidak pernah
membenci kedua orang tuanya.
Bara
adalah siswa pintar kelas XII di SMA Mandala. Peringkat satu menjadi kebanggaan
yang selama ini dapat dia capai. Awalnya laki-laki itu hanya bisa berandai
untuk menjadi mahasiswa. Namun saat namanya masuk dalam deretan siswa eligible, harapan untuk memperoleh
kehidupan yang lebih baik itu tumbuh semakin kuat.
“Assalamu’alaikum,
Ayah pulang. Ayah bawa susu dan makan malam, ayo makan.” ucap Bapak sambil
tersenyum tipis memandang keluarga kecilnya.
Anton,
datang dengan senyum bahagia membawa dua bungkus makanan dan sekantong plastik
berisi susu. Ratna tersenyum, dia lekas ke dapur menyiapkan susu untuk
putrinya, Laura. Namun perhatian Bara justru tertuju pada penampilan Anton yang
terlihat kotor dan luka gores di tangan kirinya. Belum sempat Bara bertanya,
Ratna sudah datang dengan Laura yang tengah menikmati susu Dancow.
“Waahhh,
ayam goreng lagi. Kamu habis gajian, Mas?” tanya Ratna dengan ekspresi tidak
percaya.
“Ee-itu—Iya,
aku ambil gaji lebih cepat bulan ini,” jawab Anton sekenanya dengan
terbata-bata.
Bara
semakin curiga dengan gelagat tidak tenang Ayahnya, setahu dirinya, hasil dari
gaji tukang kebun yang menjadi pekerjaan bapak tidak menentu. Apalagi, sebulan
ini sudah tiga kali mereka makan ayam, biasanya sebulan atau dua bulan sekali
mereka bisa merasakan makanan mahal itu.
“Bara,
kenapa? Ayo dimakan, Ayah sudah membawa makanan enak ini. Setelah makan, kamu
bisa belajar lagi, nanti,” jelas Ratna.
Anton
memandang kearah anaknya, tidak, hanya sekilas. Seolah dia menghindari kontak
mata dengan Bara.
“Biar
aku yang menggendong Laura, sayang. Kalian makan saja dulu,” ujar Anton.
Anton
membawa Laura ke kamar, menidurkan putrinya dan berganti baju. Luka gores di
tangan kirinya, dia beri obat merah agar segera sembuh. Mengambil hansaplast dan menutup lukanya agar
tidak terlihat. Anton memandang putri kecilnya dengan sendu, dia mengepalkan tangan
dan mencoba tenang.
“Laura,
Ayah usahakan kamu tidak tumbuh serba kekurangan, ya. Bapak akan melakukan
segala cara untuk membuat kalian bahagia,” ujar laki-laki berusia 40 tahun itu
menatap putri kecilnya.
Selepas
makan, Bara memilih duduk di depan rumah. Pada kursi kayu usang, dia
mendongakkan kepala, menatap bintang yang berkilau menghiasi langit malam ini.
“Sudah
jam sepuluh Bara, masuk. Besok ujian.” tegas Anton.
Bara
menghela nafas sejenak, “Apa Ayah punya kerja tambahan?”
Anton
berpikir sebentar, “Iya, tiga bulan ini Ayah punya pekerjaan tambahan,”
jawabnya.
“Pak,
Bara lebih baik makan nasi degan kecap asalkan dari uang halal, daripada makan
ayam goreng tapi dari hasil mencuri.” ucap laki-laki itu tetap menatap langit,
tidak berani menatap sang Ayah.
Anton
terdiam, dia bergegas duduk di sebelah Bara dengan cemas. Menengok ke belakang
memastikan istrinya tidak mendengar.
“Apa
maksud kamu, Bara?!”
Bara
mengepalkan tangannya menahan emosi. Dia menghela nafas panjang untuk
berhadapan dengan bapaknya yang telah berani melakukan tindak kriminal.
“Jangan
diulangi, Yah. Bara tidak mau dipanggil sebagai anak pencuri.”
Ucapan
itu, sungguh membuat hati Anton terasa sakit. Apakah benar putranya mengetahui
kalau dirinya seorang pencuri? Jika benar iya, dari mana Bara tahu? Apakah anak
pertamanya itu, pernah melihatnya beraksi? Lalu, harus bagaimana sikapnya saat
ini? Apakah dia harus berhenti dari aksi jahat ini? Ataukah, dia berbohong
saja?
Anton
berdiri, dia memandang ke arah rumahnya cukup lama. Pada bangunan batu bata
yang belum bisa dia renovasi, rumah beralas tanah yang menjadi langkahnya untuk
pulang. Apa yang harus Anton lakukan sekarang? Bagaimana cara untuk membuat
keluarganya merasakan hidup nyaman? Dalam benaknya, Anton selalu menyalahkan
dirinya. Hanya kemiskinan yang ia berikan untuk keluarganya.
“Sial!
Kamu cuma bisa kasih derita ke anak, istrimu, Anton.”
Bersambung…