Pencuri Itu (Bukan) Ayahku, Episode 3

Jurnalis: Rofi'uddarojah Salsabila
Editor: Hawa Riyatin Zahra

Ilustrasi ketika Anton dalam jeruji besi mengenakan baju tahanan dan borgol di tangannya, (Sumber: Pinterest)

Pagi ini menjadi hari yang buruk bagi Bara. Ibu terkejut saat membuka pintu dan mendapati dua orang polisi menanyakan Anton. Apalagi saat polisi memaksa masuk rumah untuk mengecek keberadaan Anton.

“Bu, suami anda Anton kedapatan mencuri semalam. Menurut keterangan Suryo, teman aksi pelaku, Anton meninggalkannya saat warga desa mulai memergoki aksi mereka,” penjelasan salah satu polisi yang membuat Ratna tidak bisa berkata.

“Suami saya, tidak mungkin mencuri, Pak,” ujar Ratna berusaha membela suaminya.

“Kami harap Ibu bekerja sama apabila pelaku pulang ke rumah. Kami permisi.”

Kedatangan polisi menggunakan mobil dinasnya, tentu menyita perhatian tetangga. Bisik mengejek, dan menyudutkan adalah hal menyakitkan yang siapa saja tidak ingin mendengarnya.

“Telpon ayahmu, Bara. Ya Allah, Mas.”

Ratna melihat tatapan menghakimi para tetangga yang seolah memandang mereka hina. Tidak ingin berlama dalam situasi yang kurang mengenakkan, ibu dua orang anak itu, menutup pintu rumah bersama Bara yang cemas memikirkan nasib keluarganya saat ini.

“Bara, jangan khawatir, ya. Kamu berangkat sekolah saja sekarang, tidak usah memedulikan kejadian tadi, itu biar Ibu yang mengurusnya,” dengan tangan gemetar, Ratna mengambil tas Bara untuk dia berikan pada putranya.

Bara menggenggam tangan Ratna, mengelus telapak tangan seorang ibu yang sungguh dirinya sayangi, “Ibu jangan memikirkan perkataan tetangga. Ibu harus kuat dan percaya sama Bara, biar masalah Ayah, Bara yang mengurusnya.”

Bara mendekap ibunya erat, mengelus punggung perempuan yang berusia 49 tahun dengan keriput mulai tampak di wajahnya. Dalam hangatnya pelukan itu, Ratna menangis, tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa suaminya berani melakukan tindak kriminal. Apa yang ada di pikiran Anton sampai nekat mencuri?

Di sekolah, Bara yang tengah melamun di halaman belakang dikejutkan oleh Arkan yang berlari tergesa-gesa menghampirinya. Dilihatnya raut kekhawatiran pada wajah teman dekatnya itu.

“Bara! Sorry, tapi anak-anak pada heboh sama rumor ini, apa benar yang kemarin adalah ayah, lo?”

Arkan menyodorkan sebuah berita yang memuat judul “Tersangka Pencurian di Kompleks Cempaka, Tertangkap Basah oleh Anaknya Sendiri, Kini Pelaku Diamankan Polisi”. Hati Bara langsung berdegap kencang melihat berita itu, apalagi tulisan itu juga menjelaskan bahwa ayahnnya sudah tertangkap.

“Gue harus ke kantor polisi, sekarang,”

Arkan menarik tangan Bara dengan cepat, “Gue temenin lo hadapi masalah ini, gausah respon bisikan buruk anak-anak, cukup gue yang tahu.”

Bara tersenyum, setidaknya dia bersyukur memiliki Arkan yang tidak ikut menghakimi dirinya maupun ayahnya. Walau tidak disebutkan bahwa pelaku dan anaknya adalah Anton dan Bara, tetapi aksi penangkapan pencuri kemarin oleh Arkan dan Bara sempat viral di SMA Mandala. Ditambah, keduanya adalah Ketua dan Wakil Ketua Osis yang dikenal banyak orang.

Dalam Ruang Kunjungan Lapas, Bara menatap Anton cukup lama. Hanya keheningan dan isyarat mata yang mencoba memahami. Hingga air mata yang luruh dari kelopak mata ayahnya, membuat laki-laki yang berusaha tegar itu, menghela napas dalam.

“Tadi pagi polisi ke rumah, nyari Pak Anton, Ibu sangat syok. Tetangga mulai gosip buruk, berita tentang Anda juga sudah di terbitkan online, murid lainnya juga pada gosip tentang saya. Jadi, apa baiknya punya uang banyak, kalau keluarga sendiri berantakan?”

Arkan menyenggol sepatu Bara, merasa apa yang dikatakan temannya itu terdengar cukup kasar untuk ayahnya.

“Bara—“

“Saya berbicara dengan Pak Anton, pelaku pencurian. Kalau Ayah Anton adalah tukang kebun yang selalu membawa mi ayam untuk makan malam bersama keluarganya. Ayah Bara, tidak pernah berani melakukan tindak kriminal.”

Anton yang mendengar segala penuturan putranya kini menangis. Tangannya meraba pada wajah sendu Bara yang juga menahan tangisnya. Memang benar, sesuatu yang telah terjadi sering kali kita sesali, itulah mengapa sebelum bertindak perlu pemikiran.

“Maafkan, Ayah, Bara,”

Tangan Bara mengepal, hatinya merasa sakit atas apa yang terjadi. Namun, melihat ayahnya memohon maaf, membuatnya merasa sangat berdosa.

“Jangan diulangi lagi ya, Yah. Bara bahagia, walaupun kita kekurangan. Jangan memaksakan dengan cara yang salah, Tuhan tidak suka hamba-Nya melanggar aturan.” ucap Bara dengan nada lembutnya.

Anton meraih tangan putranya, dipegangnya erat tangan Bara sembari menunduk. Merasa malu harus membuat anak kebanggaannya itu, melihatnya dalam jeruji besi.

“Tolong, jangan benci Ayah, Bara.”

Bara mengangguk, dia turut menggenggam tangan Anton. Meyakinkan sang ayah bahwa kini dirinya lah pundak harapan kedua orangtua

“Bara tunggu Ayah bebas, ya.”

Bersambung


Lebih baru Lebih lama