Ilustrasi
ketika Anton dalam jeruji besi mengenakan baju tahanan dan borgol di tangannya,
(Sumber: Pinterest) |
Pagi
ini menjadi hari yang buruk bagi Bara. Ibu terkejut saat membuka pintu dan
mendapati dua orang polisi menanyakan Anton. Apalagi saat polisi memaksa masuk
rumah untuk mengecek keberadaan Anton.
“Bu,
suami anda Anton kedapatan mencuri semalam. Menurut keterangan Suryo, teman
aksi pelaku, Anton meninggalkannya saat warga desa mulai memergoki aksi mereka,”
penjelasan salah satu polisi yang membuat Ratna tidak bisa berkata.
“Suami
saya, tidak mungkin mencuri, Pak,” ujar Ratna berusaha membela suaminya.
“Kami
harap Ibu bekerja sama apabila pelaku pulang ke rumah. Kami permisi.”
Kedatangan
polisi menggunakan mobil dinasnya, tentu menyita perhatian tetangga. Bisik
mengejek, dan menyudutkan adalah hal menyakitkan yang siapa saja tidak ingin
mendengarnya.
“Telpon
ayahmu, Bara. Ya Allah, Mas.”
Ratna
melihat tatapan menghakimi para tetangga yang seolah memandang mereka hina.
Tidak ingin berlama dalam situasi yang kurang mengenakkan, ibu dua orang anak
itu, menutup pintu rumah bersama Bara yang cemas memikirkan nasib keluarganya
saat ini.
“Bara,
jangan khawatir, ya. Kamu berangkat sekolah saja sekarang, tidak usah
memedulikan kejadian tadi, itu biar Ibu yang mengurusnya,” dengan tangan
gemetar, Ratna mengambil tas Bara untuk dia berikan pada putranya.
Bara
menggenggam tangan Ratna, mengelus telapak tangan seorang ibu yang sungguh
dirinya sayangi, “Ibu jangan memikirkan perkataan tetangga. Ibu harus kuat dan
percaya sama Bara, biar masalah Ayah, Bara yang mengurusnya.”
Bara
mendekap ibunya erat, mengelus punggung perempuan yang berusia 49 tahun dengan
keriput mulai tampak di wajahnya. Dalam hangatnya pelukan itu, Ratna menangis,
tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa suaminya berani melakukan tindak
kriminal. Apa yang ada di pikiran Anton sampai nekat mencuri?
Di
sekolah, Bara yang tengah melamun di halaman belakang dikejutkan oleh Arkan
yang berlari tergesa-gesa menghampirinya. Dilihatnya raut kekhawatiran pada
wajah teman dekatnya itu.
“Bara!
Sorry, tapi anak-anak pada heboh sama rumor ini, apa benar yang kemarin adalah
ayah, lo?”
Arkan
menyodorkan sebuah berita yang memuat judul “Tersangka Pencurian di Kompleks
Cempaka, Tertangkap Basah oleh Anaknya Sendiri, Kini Pelaku Diamankan Polisi”.
Hati Bara langsung berdegap kencang melihat berita itu, apalagi tulisan itu
juga menjelaskan bahwa ayahnnya sudah tertangkap.
“Gue
harus ke kantor polisi, sekarang,”
Arkan
menarik tangan Bara dengan cepat, “Gue temenin lo hadapi masalah ini, gausah
respon bisikan buruk anak-anak, cukup gue yang tahu.”
Bara
tersenyum, setidaknya dia bersyukur memiliki Arkan yang tidak ikut menghakimi
dirinya maupun ayahnya. Walau tidak disebutkan bahwa pelaku dan anaknya adalah Anton
dan Bara, tetapi aksi penangkapan pencuri kemarin oleh Arkan dan Bara sempat
viral di SMA Mandala. Ditambah, keduanya adalah Ketua dan Wakil Ketua Osis yang
dikenal banyak orang.
Dalam
Ruang Kunjungan Lapas, Bara menatap Anton cukup lama. Hanya keheningan dan
isyarat mata yang mencoba memahami. Hingga air mata yang luruh dari kelopak
mata ayahnya, membuat laki-laki yang berusaha tegar itu, menghela napas dalam.
“Tadi
pagi polisi ke rumah, nyari Pak Anton, Ibu sangat syok. Tetangga mulai gosip
buruk, berita tentang Anda juga sudah di terbitkan online, murid lainnya juga
pada gosip tentang saya. Jadi, apa baiknya punya uang banyak, kalau keluarga
sendiri berantakan?”
Arkan
menyenggol sepatu Bara, merasa apa yang dikatakan temannya itu terdengar cukup
kasar untuk ayahnya.
“Bara—“
“Saya
berbicara dengan Pak Anton, pelaku pencurian. Kalau Ayah Anton adalah tukang
kebun yang selalu membawa mi ayam untuk makan malam bersama keluarganya. Ayah
Bara, tidak pernah berani melakukan tindak kriminal.”
Anton
yang mendengar segala penuturan putranya kini menangis. Tangannya meraba pada
wajah sendu Bara yang juga menahan tangisnya. Memang benar, sesuatu yang telah
terjadi sering kali kita sesali, itulah mengapa sebelum bertindak perlu
pemikiran.
“Maafkan,
Ayah, Bara,”
Tangan
Bara mengepal, hatinya merasa sakit atas apa yang terjadi. Namun, melihat
ayahnya memohon maaf, membuatnya merasa sangat berdosa.
“Jangan
diulangi lagi ya, Yah. Bara bahagia, walaupun kita kekurangan. Jangan
memaksakan dengan cara yang salah, Tuhan tidak suka hamba-Nya melanggar aturan.”
ucap Bara dengan nada lembutnya.
Anton
meraih tangan putranya, dipegangnya erat tangan Bara sembari menunduk. Merasa
malu harus membuat anak kebanggaannya itu, melihatnya dalam jeruji besi.
“Tolong,
jangan benci Ayah, Bara.”
Bara
mengangguk, dia turut menggenggam tangan Anton. Meyakinkan sang ayah bahwa kini
dirinya lah pundak harapan kedua orangtua
“Bara
tunggu Ayah bebas, ya.”
Bersambung