Pencuri Itu (Bukan) Ayahku, Episode 2

Jurnalis: Rofi'uddarojah Salsabila
Editor: Hawa Riyatin Zahra

lustrasi gambar kasih sayang seorah ayah kepada putra kecilnya. (Sumber: pinterest)

“Makasih ya, Bar, repot-repot nganter pulang.” ujar Arkan teman sekelas Bara.

“Halah, santai aja, kali.”

Menjadi Ketua dan Wakil Ketua Osis SMA Mandala, membuat kedua laki-laki pintar itu harus mempersiapkan Masa Orientasi Siswa (MOS) untuk tahun ini. Alasan itulah yang membuat mereka pulang larut hari ini. Rumah Arkan yang berada di gang seberang rumahnya, membuat Bara berinisiatif menawarkan tumpangan pulang yang disetujui temannya itu. 

Tiba-tiba motor Beat hitam yang terparkir di warung makan sederhana itu mencuri perhatiannya. Bara jelas tahu betul siapa pemilik motor dengan nomer pelat itu.

“Kenapa, Bar?” tanya Arkan penasaran melihat temannya menatap lama Warung Soto Sore Dayem yang berada di depan mereka.

“Enggak, gue kayak kenal motor itu, sebentar,” jawab Bara sembari menunjuk motor Beat hitam tadi dan berjalan meninggalkan Arkan. Dia menghampiri motor yang dimaksud.

Ketika Bara masuk warung soto tersebut, dia tidak menemukan seseorang yang dia cari. Lantas pemilik warung, alias Bu Dayem menghampirinya.

“Ada apa, dik? Mau makan atau, kenapa?” tanya Bu Dayem dengan nada lembut.

“Maaf bu, itu pemilik motor yang parkir di depan, kemana ya?”

“Ooo, itu tadi cuman menitipkan motor. Ibu dikasih uang 200.000 ribu sebagai ucapan terima kasih karena memperbolehkan motornya di sini.” jelas Bu Dayem.

Mendengar pernyataan Bu Dayem, Bara mengucapkan terima kasih dan kembali pada Arkan.

“Ar, daerah sini apa ada rumah yang baru ditinggal pergi pemiliknya?” tanya Bara yang mulai nampak cemas.

“Hmm, ada kayaknya. Rumah Pak Hamid, beliau baru berangkat umrah tiga hari yang lalu. Memangnya kenapa, Bar?”

“Nanti gue jelasin, antar gue kesana, sekarang.”

Arkan yang tidak tahu apa-apa hanya menurut apa yang dikatakan oleh Bara. Laki-laki yang masih menggenakan baju abu-abu putih itu lantas menuju ke rumah Pak Hamid. Melihat raut kecemasan dan kepanikan di wajah Bara, membuatnya menerka-nerka sesuatu buruk yang mungkin sedang terjadi.

Daerah rumah Arkan, Kompleks Cempaka, sudah tampak sepi. Pintu-pintu rumah sudah tertutup. Penghuninya sudah terlelap masing-masing. Jam dinding sudah menunjukan pukul 22.00 WIB. Memang sudah waktunya istirahat.

Butuh waktu lima menit bagi Arkan untuk membawa Bara ke rumah yang di maksud. Bangunan itu berdiri kokoh dengan cat putih tulang dan pagar setinggi pinggang pria dewasa. Letaknya berada di antara kebun kecil dan tembok pembatas kompleks, membuat rumah itu cukup jauh dari keramaian.

“Bar, pintunya terbuka!” Arkan menjerit tertahan saat baru saja sampai di depan rumah Pak Hamid.

“Ar, lo panggil satpam kompleks, gue bakal masuk ke dalam.”

Bara yang hendak melangkahkan kakinya, terhenti ketika lengannya ditarik Arkan, “Lo gila? Kita panggil pak satpam dulu baru masuk bareng-bareng, di sana bahaya, Bar.”

“Kelamaan! Suara kita nanti justru bikin sinyal tanda bahaya buat aksi mereka. Nurut deh kata gue, lo panggil pak satpam sekarang.”

“Oke oke. Lo hati-hati!” peringat Arkan sebelum meninggalkan Bara yang mulai mendekat ke rumah Pak Hamid.

Sembari memantapkan hatinya, Bara menepis segala kemungkinan yang sebenarnya sudah nampak jelas. Perlahan, dia mendekat ke arah pintu. Mengendap pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara.

Melalui pintu masuk yang sudah terbuka, Bara mengintip dan mendapati dua orang mengenakan penutup wajah. Kedua orang itu tampak memberantakan rumah, seperti mencari sesuatu yang berharga dalam rumah itu.

“Ayo, Ton! Kita harus segera keluar!” ujar salah satu pencuri yang sudah selesai dengan aktivitasnya.

“Sabar! Bentar lagi beres, udah nih, ayo!”

Bara yang mendengar itu, tanpa pikir panjang langsung menutup pintu dari luar. Menahan dobrakan kasar yang memaksa untuk membuka pintu.  

“Woi! Siapa ini! Sialan, kita harus segera melarikan diri.” ucap panik salah satu perampok itu.

“Kita dobrak aja, Ton! 1…2…3!” satunya memberi solusi.

BRAK! Bunyi pintu yang dipaksa terbuka membuat Bara terkejut dan membuatnya jatuh. Bersamaan dengan itu, Arkan dan pak satpam datang mengendarai motor mendekat ke arah mereka.

“Maling! Maling! Maling!” teriak Arkan keras, membuat panik kedua pencuri itu.

Bara mencoba menahan kaki salah satu perampok yang berada di dekatnya. Bunyi sahutan dari warga sekitar membuat suasana mulai gaduh dan tidak terkendali.

“Anton, bantuin gue. Jangan tinggalin gue, sialan! Lepasin kaki gue, bocah!” ujar salah satu perampok sambil mencoba membebaskan kakinya.

Nama itu, membuat Bara mendongakkan kepala. Matanya bertemu dengan laki-laki dewasa yang berdiri sambil menarik tangan temannya. Dan ketika itu, Bara menyadari bahwa pencuri ini tidak lain adalah Anton, ayahnya.

Arkan yang melihat adegan saling tarik-menarik di depan pintu rumah itu, lantas berlari ke arah mereka hendak membantu. Pergerakan yang dilakukan Arkan membuat Anton melepas bantuannya dan memilih melarikan diri secepat mungkin.

“WOI ANTON!” teriak perampok yang dicengkram oleh Bara.

Kediaman milik Pak Hamid mulai dikerumuni warga. Para warga hendak menyerang dan memukul salah satu pencuri yang tertangkap basah. Berbeda dengan Arkan yang tengah membantu Bara mencoba melindungi pencuri itu dari amukan massa.

Sepuluh menit kemudian, suara sirine polisi sebagai penengah di antara kegaduhan malam ini. Mereka serahkan seluruh urusan dan keputusan kepada pihak yang berwenang. Bara hanya menatap getir ke arah kebun, tempat ayahnya melarikan diri.

“Ayah, bukan lagi, Ayah Bara.”

Bersambung…

Lebih baru Lebih lama