Editor: Hawa Riyatin Zahra
lustrasi
gambar kasih sayang seorah ayah kepada putra kecilnya. (Sumber: pinterest) |
“Makasih
ya, Bar, repot-repot nganter pulang.” ujar Arkan teman sekelas Bara.
“Halah,
santai aja, kali.”
Menjadi
Ketua dan Wakil Ketua Osis SMA Mandala, membuat kedua laki-laki pintar itu
harus mempersiapkan Masa Orientasi Siswa (MOS) untuk tahun ini. Alasan itulah yang
membuat mereka pulang larut hari ini. Rumah Arkan yang berada di gang seberang
rumahnya, membuat Bara berinisiatif menawarkan tumpangan pulang yang disetujui
temannya itu.
Tiba-tiba
motor Beat hitam yang terparkir di warung makan sederhana itu mencuri
perhatiannya. Bara jelas tahu betul siapa pemilik motor dengan nomer pelat itu.
“Kenapa,
Bar?” tanya Arkan penasaran melihat temannya menatap lama Warung Soto Sore
Dayem yang berada di depan mereka.
“Enggak,
gue kayak kenal motor itu, sebentar,” jawab Bara sembari menunjuk motor Beat
hitam tadi dan berjalan meninggalkan Arkan. Dia menghampiri motor yang dimaksud.
Ketika
Bara masuk warung soto tersebut, dia tidak menemukan seseorang yang dia cari. Lantas
pemilik warung, alias Bu Dayem menghampirinya.
“Ada
apa, dik? Mau makan atau, kenapa?” tanya Bu Dayem dengan nada lembut.
“Maaf
bu, itu pemilik motor yang parkir di depan, kemana ya?”
“Ooo,
itu tadi cuman menitipkan motor. Ibu dikasih uang 200.000 ribu sebagai ucapan
terima kasih karena memperbolehkan motornya di sini.” jelas Bu Dayem.
Mendengar
pernyataan Bu Dayem, Bara mengucapkan terima kasih dan kembali pada Arkan.
“Ar,
daerah sini apa ada rumah yang baru ditinggal pergi pemiliknya?” tanya Bara
yang mulai nampak cemas.
“Hmm,
ada kayaknya. Rumah Pak Hamid, beliau baru berangkat umrah tiga hari yang lalu.
Memangnya kenapa, Bar?”
“Nanti
gue jelasin, antar gue kesana, sekarang.”
Arkan
yang tidak tahu apa-apa hanya menurut apa yang dikatakan oleh Bara. Laki-laki
yang masih menggenakan baju abu-abu putih itu lantas menuju ke rumah Pak Hamid.
Melihat raut kecemasan dan kepanikan di wajah Bara, membuatnya menerka-nerka
sesuatu buruk yang mungkin sedang terjadi.
Daerah
rumah Arkan, Kompleks Cempaka, sudah tampak sepi. Pintu-pintu rumah sudah
tertutup. Penghuninya sudah terlelap masing-masing. Jam dinding sudah
menunjukan pukul 22.00 WIB. Memang sudah waktunya istirahat.
Butuh
waktu lima menit bagi Arkan untuk membawa Bara ke rumah yang di maksud.
Bangunan itu berdiri kokoh dengan cat putih tulang dan pagar setinggi pinggang
pria dewasa. Letaknya berada di antara kebun kecil dan tembok pembatas
kompleks, membuat rumah itu cukup jauh dari keramaian.
“Bar,
pintunya terbuka!” Arkan menjerit tertahan saat baru saja sampai di depan rumah
Pak Hamid.
“Ar,
lo panggil satpam kompleks, gue bakal masuk ke dalam.”
Bara
yang hendak melangkahkan kakinya, terhenti ketika lengannya ditarik Arkan, “Lo
gila? Kita panggil pak satpam dulu baru masuk bareng-bareng, di sana bahaya,
Bar.”
“Kelamaan!
Suara kita nanti justru bikin sinyal tanda bahaya buat aksi mereka. Nurut deh kata
gue, lo panggil pak satpam sekarang.”
“Oke
oke. Lo hati-hati!” peringat Arkan sebelum meninggalkan Bara yang mulai
mendekat ke rumah Pak Hamid.
Sembari
memantapkan hatinya, Bara menepis segala kemungkinan yang sebenarnya sudah
nampak jelas. Perlahan, dia mendekat ke arah pintu. Mengendap pelan-pelan agar tidak
menimbulkan suara.
Melalui
pintu masuk yang sudah terbuka, Bara mengintip dan mendapati dua orang
mengenakan penutup wajah. Kedua orang itu tampak memberantakan rumah, seperti mencari
sesuatu yang berharga dalam rumah itu.
“Ayo,
Ton! Kita harus segera keluar!” ujar salah satu pencuri yang sudah selesai
dengan aktivitasnya.
“Sabar!
Bentar lagi beres, udah nih, ayo!”
Bara
yang mendengar itu, tanpa pikir panjang langsung menutup pintu dari luar.
Menahan dobrakan kasar yang memaksa untuk membuka pintu.
“Woi!
Siapa ini! Sialan, kita harus segera melarikan diri.” ucap panik salah satu
perampok itu.
“Kita
dobrak aja, Ton! 1…2…3!” satunya memberi solusi.
BRAK!
Bunyi pintu yang dipaksa terbuka membuat Bara terkejut dan membuatnya jatuh.
Bersamaan dengan itu, Arkan dan pak satpam datang mengendarai motor mendekat ke
arah mereka.
“Maling!
Maling! Maling!” teriak Arkan keras, membuat panik kedua pencuri itu.
Bara
mencoba menahan kaki salah satu perampok yang berada di dekatnya. Bunyi sahutan
dari warga sekitar membuat suasana mulai gaduh dan tidak terkendali.
“Anton,
bantuin gue. Jangan tinggalin gue, sialan! Lepasin kaki gue, bocah!” ujar salah
satu perampok sambil mencoba membebaskan kakinya.
Nama
itu, membuat Bara mendongakkan kepala. Matanya bertemu dengan laki-laki dewasa
yang berdiri sambil menarik tangan temannya. Dan ketika itu, Bara menyadari
bahwa pencuri ini tidak lain adalah Anton, ayahnya.
Arkan
yang melihat adegan saling tarik-menarik di depan pintu rumah itu, lantas berlari
ke arah mereka hendak membantu. Pergerakan yang dilakukan Arkan membuat Anton
melepas bantuannya dan memilih melarikan diri secepat mungkin.
“WOI
ANTON!” teriak perampok yang dicengkram oleh Bara.
Kediaman
milik Pak Hamid mulai dikerumuni warga. Para warga hendak menyerang dan memukul
salah satu pencuri yang tertangkap basah. Berbeda dengan Arkan yang tengah
membantu Bara mencoba melindungi pencuri itu dari amukan massa.
Sepuluh
menit kemudian, suara sirine polisi sebagai penengah di antara kegaduhan malam
ini. Mereka serahkan seluruh urusan dan keputusan kepada pihak yang berwenang.
Bara hanya menatap getir ke arah kebun, tempat ayahnya melarikan diri.
“Ayah,
bukan lagi, Ayah Bara.”
Bersambung…