Ilustrasi seseorang mengatakan bidah dan kafir kepada orang lain (sumber gambar: google) |
Rencang.id – Takfiri adalah sikap yang menolak
perbedaan pendapat dalam agama Islam. Kaum takfiri adalah kelompok yang dengan
mudah melontarkan kata "kafir" kepada sesama Muslim karena perbedaan
keyakinan dan manhaj (metodologi pemikiran). Mereka juga sering menggunakan istilah sepadan seperti
"ahli bidah", "sesat", dan "musyrik".
Hal ini menjadi
musibah besar bagi umat Islam di dunia, karena dengan lontaran dan cemoohan
tersebut menjadikan umat Islam tidak bisa bersatu, padahal perbedaan merupakan
fitrah dan keniscayaan sejak zaman Rasul, para sahabat, dan tabiin.
Contoh perbedaan
dapat dilihat pada pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, serta kebijakan sahabat
Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Rasulullah SAW juga pernah memberikan hukum
yang berbeda pada suatu perkara; beliau awalnya melarang ziarah kubur, namun
kemudian mengizinkannya. Hal ini terekam dalam sabdanya:
إني كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها تذكر الآخرة
Inni kuntu nahaitukum
'an ziyaaratil quburi fazuuruuhaa tudzakkiril aakhirati.
Artinya: “Aku pernah
melarang kalian ziarah kubur. Sekarang berziarahlah untuk mengingat akhirat
kalian”.
Hadits ini
menunjukkan bahwa suatu hukum dapat berubah karena konteks, termasuk faktor
sosial, budaya, dan antropologi. Hal ini dikenal dalam
ulumul hadits sebagai nasakh wa mansukh. Dengan demikian, hukum dapat
berubah seiring waktu, tergantung pada konteks zamannya. Ketika kelompok
takfiri menghukumi sesama Muslim dengan cara yang buruk, itu hanyalah perkataan
yang tidak mempertimbangkan dengan bijaksana.
Mereka (kelompok takfiri) sangat menolak
perubahan suatu hukum karena faktor perubahan zaman dengan dalil tidak ada atau
tidak ditemukan sesuatu tersebut di zaman Rasulullah SAW. Sedangkan kelompok Ahlussunah
wal Jamaah (Aswaja) yang sering mereka kafirkan selalu memiliki pandangan
yang maju dalam beristinbath (mengambil hukum), yakni dengan mengedepankan
metode wahyu dan akal.
Para ulama memutuskan
hukum berdasarkan pedoman Al-Qur'an dan hadits Nabi. Jika keduanya tidak
ditemukan, umat Islam akan melakukan qiyas, yakni menyamakan illat
(alasan) suatu hukum dengan hukum yang ada dalam Al-Qur'an maupun hadits. Ini
menunjukkan bagaimana kelompok Aswaja mengambil keputusan hukum dalam Islam,
sehingga dengan metode yang kompleks ini, mereka sulit mengucapkan
"kafir" kepada sesama Muslim
Ini yang dinamakan
cerdas secara manhaj dan mazhab, sehingga tidak kekanak-kanakan dalam mengambil
keputusan, apalagi sampai menyalahkan metode umat Islam yang lain.
Larangan Kelompok takfiri sangat jelas
bahayanya, karena menutup rasionalitas dan menekan wahyu agar tidak bisa
diimplementasikan di setiap perubahan zaman.
Lebih bahayanya lagi
ketika mereka sampai menghalalkan darah saudara sesama Muslim untuk dibunuh
karena berada pendapat dalam hukum. Karena sebagian mereka ada yang berpedoman
bahwa seseorang yang mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah
SAW maka sesat dan boleh dibunuh karena ahli neraka. Nauzubillah min dzalik.
Oleh karena itu,
takfiri memiliki dampak yang sangat berbahaya bagi kerukunan dan kemaslahatan
umat beragama. Sering kali mereka juga menyerang orang yang berbeda agama,
padahal Rasulullah SAW selalu mengedepankan kasih sayang dan mengajarkan
toleransi serta harmonisasi antar umat beragama.