Editor: Hawa Riyatin Zahra
Ilustrasi hasil Ultrasonografi (USG) janin.
(Sumber: kompas.com) |
Pintu kamar mandi terbuka, Rusdi mendekati istrinya yang
tengah memegang test pack.
“Gimana hasilnya?”
tanya Rusdi, suami Ani. Suara berat tapi terdengar hangat itu
memecah lamunan Ani.
“Positif Mas,” sahut Ani dengan suara lirih dan lemas.
Kepalanya terus berputar-putar, memikirkan mau dikasih
makan apa anak ini nanti. Satu kata yang terngiang-ngiang dipikirannya “beban”.
Ya, beban keluarga mereka akan bertambah.
“Alhamdulillah,” ucap Rusdi dengan senyum di wajahnya
sambil memeluk istrinya.
“Kok alhamdulillah, Mas? Hutang kita banyak, terus
anak-anak masih kecil. Mau dikasih makan apa kalau bayi ini lahir?” sahut sang
istri dengan menggebu-gebu dan air mata yang mengucur deras.
“An,
semua anak ada rezekinya masing-masing. Kamu nggak perlu khawatir. Aku bakal
kerja lebih keras demi keluarga kita,”
“Tapi
… “ sanggah Ani, namun langsung disela oleh Rusdi.
“Sssssstt,
sudah kamu percaya saja sama aku ya,” ucap sang suami seraya melonggarkan
pelukan mereka.
Dia kemudian menarik dagu sang istri agar menatap
matanya. Mata mereka saling bertaut. Ani merasakan kehangatan di dalam tatapan
suaminya. Entah mengapa tiba-tiba hatinya menjadi tenang. Pikirannya yang
sempat ditutupi kabut kini menemukan titik terang. Suami yang selalu ada adalah
jawaban dari kegundahan hatinya. Kini dia yakin untuk mempertahankan buah hati mereka.
Hari demi hari berlalu. Tak terasa janin yang Ani kandung
sudah masuk usia dua bulan. Benar kata sang suami, rezeki mereka mengalir deras
setelah istrinya hamil. Kemudian wanita itu mengajak sang suami untuk cek ke
dokter dan melakukan Ultrasonografi (USG).
Dokter mengatakan untuk lebih berhati-hati dan jangan
terlalu kelelahan. Karena usia Ani yang sudah 35 tahun sangatlah rawan untuk
mengalami keguguran. Ani memandangi foto USG janinnya.
“Kecil banget ya Mas, baru dua sentimeter ukuran bayi
kita,” ujar Ani pada suaminya.
“Iya,
tapi yang paling penting dia sehat,” jawab sang suami.
“Tapi
ini kecil banget loh kaya kacang hehe” canda Ani.
“Makanya kamu harus hati-hati jagain dia ya, yaudah yuk
pulang,” ajak Rusdi.
Hari sudah malam saat mereka pulang. Suasana jalanan juga
cukup ramai lancar. Motor milik Rusdi membelah jalanan malam. Namun saat pulang
mereka menemui banyak polisi tidur di jalan. Tanpa disadari Rusdi merasakan ada
cairan yang membasahi celana bagian belakangnya.
“Kok kayak basah ya, An?” tanya Rusdi pada sang istri.
“Hah apanya?” tanya Ani bingung lantas bola matanya
hampir loncat ketika melihat darah mengalir deras dari balik roknya.
“Ini cel-“ jawaban Rusdi terpotong oleh teriakan
istrinya.
“MAS AKU BERDARAH,”
Mendengar itu, Rusdi sontak menghentikan laju motornya.
Dia turun dari motor dan mengecek celana jeans cream miliknya yang sudah
bersimbah darah. Rok biru istrinya jauh lebih parah karena sudah berubah warna
menjadi merah.
Rusdi
langsung memutar motornya kembali ke dokter. Pikirannya juga ikut kalut melihat darah sebanyak itu.
Tapi dia harus tenang sebisa mungkin, sebab ada Ani yang pasti jauh lebih takut
daripada dirinya.
“Janinnya sudah tidak tersisa bapak ibu, sudah tidak
terselamatkan lagi. Besok kita jadwalkan untuk kuret, prosedur ini membantu
mencegah infeksi dan komplikasi setelah keguguran,” ucap dokter setelah
memeriksa perut Ani.
Tes tes tes
Air mata Ani mulai mengalir tanpa dia sadari. Apa karena
dulu dia menolak kehadiran bayi ini makanya Tuhan mengambilnya lagi. Ini
tidak adil, Ani sudah menerima bayi ini. Dia sudah bahagia dengan adanya bayi
ini.
Ini tidak mungkin. Ini hanya mimpi. Kalimat ini terus
terngiang di kepalanya. Benar kata orang, jangan menolak rezeki. Orang yang
memberi kepada kita akan sedih bila ditolak. Kini Ani merasakan penyesalan yang
mendalam. Jantungnya serasa ditikam oleh belati. Hanya duka yang tertinggal.
Tangisan tak lagi berguna. Buah hatinya telah diambil
kembali oleh Sang Pencipta. Ani lupa untuk bersyukur atas segala takdir Tuhan.
Kita tidak bisa meramal kehidupan. Hanya Tuhan yang tahu
setiap jawaban dari segala pertanyaan.