Rencang.id – Sudah
seharusnya perguruan tinggi menjadi salah satu sumber keilmuan. Namun, tak
sedikit perguruan tinggi di Indonesia melakukan penerbitan karya ilmiah yang
berpotensi predator. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Fachri Aidulsyah,
dkk, dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang tergabung di Marepus
Corner menemukan bahwa 8 dari 10 profesor di Indonesia menerbitkan artikel
ilmiahnya ke jurnal yang tidak dapat diandalkan, sehingga timbul kekhawatiran
tentang keahlian serta kredibilitas akademis mereka.
Menjabat sebagai profesi akademis, tentu sangat dihormati karena perannya
memajukan ilmu pengetahuan generasi selanjutnya. Banyak ilmuwan yang tertarik
menjadi profesor karena kebebasan intelektual, penghormatan, dan pengaruh dari posisi
tersebut. Dengan demikian, jalur menuju profesor dipenuhi tantangan, yaitu
tekanan untuk menerbitkan banyak karya ilmiah.
Tekanan yang membuka pintu fenomena bermasalah
dalam dunia akademik, yaitu jurnal predator. Jurnal predator adalah outlet publikasi yang penerbitannya
menawarkan publikasi mudah dan cepat. Tanpa tinjauan yang ketat seperti halnya
jurnal bereputasi. Jurnal predator membebankan biaya tinggi kepada penulis,
menghasilkan uang dari jumlah pengajuan, dan tidak berfokus pada kualitas atau
dampak penelitian.
Setelah itu timbul pertanyaan, mengapa jurnal predator begitu
menggoda?
1. Tekanan untuk menerbitkan tulisan ilmiah;
2. Proses publikasi cepat, tidak seperti jurnal
bereputasi membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk
menyelesaikan proses tinjauan sejawat dan publikasi;
3. Jurnal predator
memiliki standar penerimaan yang rendah atau bahkan tidak ada;
4. Jalur cepat untuk memajukan karir.