Editor : Listia Aulia Putri
![]() |
Ilustrasi hoaks atau berita palsu. (Sumber: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7546981/ini-penyebab-orang-mudah-percaya-dan-menyebarkan-hoaks-tak-berpikir-kritis) |
Rencang.id - Era digital yang semakin maju memberi akses kita dalam
mendapatkan informasi. Kita bisa dengan mudah mendapat informasi dari media
sosial. Contohnya seperti Instagram, Facebook, Twitter, dan WhatsApp. Hal ini
dapat menimbulkan hoaks dan berita palsu di sekitar kita.
Berdasarkan
survei
Katadata Insight Center (KIC) yang bekerja sama dengan
Kementerian Komunikasi dan Informatika serta SiBerkreasi.
Ditemukan setidaknya 30% sampai
hampir 60% masyarakat Indonesia terpapar hoaks saat mengakses dan berkomunikasi
melalui dunia maya. Sementara hanya 21% sampai 36% saja yang mampu mengenali
hoaks. Kebanyakan hoaks yang ditemukan terkait isu politik, kesehatan dan
agama.
Dari temuan-temuan diatas,
masih ditemukan lagi orang-orang yang tanpa sadar menyebarkan hoaks. Sadar atau
tidak, hal ini tetaplah keliru karena dapat menjerumuskan orang lain kepada
informasi yang salah. Lalu
kenapa
masih banyak yang menyebar dan mempercayai hoaks?
Kurang Berpikir Kritis Mempermudah
Penyebaran Hoaks
Dalam sebuah studi Efektivitas
Kemampuan Berpikir Kritis dalam Menangkal Hoaks pada tahun 2021, membahas bagaimana kemampuan berpikir
kritis berperan penting dalam mencegah penyebaran informasi palsu dan hoaks di
masyarakat.
Artikel ini menguraikan bahwa individu yang mampu
berpikir kritis cenderung lebih waspada dalam menerima informasi, sehingga
dapat membedakan antara fakta dengan berita palsu. Melalui berpikir kritis,
seseorang akan mengevaluasi sumber informasi, memverifikasi fakta, dan
mempertanyakan kredibilitas berita sebelum membagikannya, sehingga mengurangi
penyebaran hoaks.
Spontan Komen dan Share Segala Informasi
Tim peneliti dari USC Marshall School of Business dan
USC Dornsife College of Letters, Arts and Sciences, terus mendalami alasan mengapa banyak orang mudah menyebarkan berita hoaks. Ini berkaitan dengan
kebiasaan yang muncul saat menggunakan media sosial. Tanpa sadar saat
orang-orang menggunakan media sosial, mereka tergiring untuk memberikan like,
berkomentar, mengikuti tren, dan menyebarkannya.
"Pengguna media sosial cenderung membagikan
informasi untuk mendapatkan pengakuan karena adanya sistem penghargaan seperti
"like" dan komentar, sehingga terbentuk kebiasaan berbagi
tanpa memverifikasi kebenarannya," tulis para peneliti.
"Setelah kebiasaan terbentuk, pengguna sering
kali berbagi informasi secara otomatis ketika mendapatkan isyarat dari
platform, tanpa memikirkan konsekuensi penting seperti penyebaran informasi
yang salah," tambah mereka.
Jadi dapat disimpulkan,
berinteraksi, mengunggah, dan berbagi dengan orang lain dapat menjadi kebiasaan
di media sosial.
Ini yang kemudian banyak orang mudah percaya dan
menyebarkan berita palsu atau hoaks. Mereka tidak merespons dengan berpikir
atau mempertimbangkan, tetapi langsung berkomentar atau menyebarkan karena
sudah terbiasa.
Faktor ini yang menimbulkan
banyak orang mudah percaya dan menyebarkan hoaks atau berita palsu. Tanpa pikir
panjang dan kurang mempertimbangkan, tapi langsung like, komen, dan share
karena sudah menjadi kebiasaan.