Editor : Hawa Riyatin Zahra
Ilustrasi sebuah kursi, lampu, dan meja yang berada di tengah ruang kosong berwarna gelap (sumber: google). Mendelik kembali ke sebuah ruangan 3 x 4 yang kini tidak bertuan. Kabarnya si pemilik memilih untuk tidur ditemani para malaikat-malaikat baik yang ada di sampingnya, sembari menceritakan keindahan surga. Di kamar ini masih tersimpan rapi berbagai pigura penghargaan milik adikku, Feli. Potret senyuman di wajahnya kala itu membuat banyak orang di sekitarku mengatakan “Jangan terlalu bersedih, Feli pergi dalam keadaan baik.” Kalimat yang mungkin mereka harap bisa menenangkanku dan keluarga. Namun, hal itu terkalahkan dengan badai kesedihan yang rasanya tidak masuk akal ini. Sore itu, alat pemacu jantung dan berbagai usaha dokter seakan dihiraukan oleh Feli. Gadis 17 tahun yang ceria itu kini hanya bisa terpejam dengan senyum samar di wajahnya. Ibu masih histeris dan meminta dokter untuk terus memacu jantungnya, namun aku tahu betul adikku itu sudah melepas semua rasa sakitnya. Dokter mulai menutup wajah dan seluruh tubuhnya dengan sehelai kain berwarna hijau khas rumah sakit dan menarik ranjangnya keluar dari ruangan yang penuh dengan suara rintihan ibu. Sudah lebih dari 3 bulan suara cempreng Feli tidak lagi meramaikan rumah kecil ini. Rindu menjadi kata yang menakutkan bagiku. Banyak yang bilang, obat rindu adalah dengan bertemu. Lalu apa yang akan terjadi jika “obat” itu tidak akan pernah ada lagi?. Penyesalan tiada ujung, andaikan dulu aku tahu akan sesingkat ini, pasti sudah kubelikan 1.000 tangkai mawar merah setiap hari untuknya. Tidak akan aku marahi dia walau sudah mencuri jajanku yang aku simpan di lemari. Kenapa dulu sampai aku bentak saat dia menganggu tidur siangku? Padahal aku bisa memberi tahunya dengan lembut. Beribu penyesalan tak memiliki arti lagi. beribu kata maaf juga sudah tak akan sampai padanya. Feli, Ibu tahu kau akan mengundang kami ke rumahmu yang ada di surga suatu saat nanti. Untuk menonton TV bersama lagi, untuk mencicipi semua masakanmu yang sering gagal itu, dan untuk bermain petak umpet bersama lagi. Namun, petak umpet kali ini begitu sulit, padahal aku tahu dimana tempatmu bersembunyi, namun aku tetap tidak bisa meraih tanganmu lagi, dan kamu selalu menang sekarang. Feli, kamu membuatku paham tentang menghargai setiap detik pertemuan dunia ini. Semua sifat baikmu melekat di pikiranku dan membuatku ingin menirunya. Kini, aku dan ibu sudah hidup seperti biasa, dan terus mencoba ikhlas dengan mimpi buruk yang disebut takdir ini. Kehilangan sesuatu yang kita sayang, bukan berarti Tuhan bertindak jahat karena membuat kita bersedih. Tuhan selalu memiliki tujuan tersendiri yang tidak akan pernah dipahami oleh orang-orang yang tidak tahu. Sejauh apapun kita mencintai dan menjaga, selalu sisakan ruang ikhlas jika suatu saat kita harus melepasnya. Sering kali kita mengatakan “Tuhan sebaik-baiknya penyusun rencana” atau “Tuhan adalah pemilik segala sesuatu yang ada di langit dan bumi.” namun kita seringkali masih lupa dan menyalahkan takdir, bahkan marah atas apa yang Tuhan minta kembali. |