Perandaian

 Jurnalis : Ninit Febriani
Editor : Hawa Riyatin Zahra
Sumber : (https://cdns.diadona.id/diadona.id/resized/664xauto//real/2021/05/31/198547/kata-kata-sedih-perpisahan-untuk-pacar.jpg)

Di bawah naungan langit kelabu, Dina, Rimbun, Cilo, Mayang, dan Hendri mengurungkan niatnya untuk pulang meskipun mereka tahu ibu pasti sudah menunggu dengan cemas dan setengah marah. Apalagi jam sudah menunjukkan pukul 18.00. Sore itu, lima sekawan yang sudah terkenal di desa itu memilih untuk meringkuk di gubuk bambu yang sudah menjelma menjadi basecamp mereka. Gubuk tua bekas tempat menyimpan padi itu berada di pinggir sawah dengan pemandangan Gunung Lawu. Diam-diam menjadi saksi bisu setiap momen yang tercipta di antara mereka.

Tidak lama, benar saja, hujan deras mulai mengguyur desa. Dengan penerangan seadanya dari ponsel nokia 3315 milik Cilo, lima sekawan itu berdiskusi mengenai imajinasi mereka yang ingin hidup di kota besar.

“Di rumah tanteku itu kalau mau beli apa-apa dekat tahu. Bahkan, toko baju cuma ada di seberang jalan. Kalau malam juga ramai orang berjualan jajan. Eh, tapi di sana kayak nggak ada malam tahu, selalu ramai dari aku tidur sampai aku bangun lagi.” ucap Cilo dengan girang.

Mereka terus berandai-andai melalui cerita Cilo mengenai tantenya yang hidup di kota. Padahal Cilo sendiri baru sekali menginap di sana, namun bercerita seakan dia paling modern dari teman-temannya yang polos itu. Cerita mereka sore itu berakhir saat hujan sudah reda. Lima anak itu pulang dengan keinginan kuat untuk hidup di kota, dan meninggalkan desa kecil mereka yang membosankan.

15 tahun kemudian, Dina dan Cilo kini menjadi sepasang kekasih. Rumah mereka yang hanya berjarak satu kebun singkong, membuat mereka seringkali menghabiskan waktu bersama walau hanya sekedar Cilo berkunjung ke rumah Dina untuk makan siang bersama. Semua terasa harmonis dan romantis sebelum datang segerombol ibu-ibu yang baru pulang dari arisan PKK. Mereka nampak mengunjing Cilo dan Dina yang tengah makan nasi goreng di teras rumah Dina. sayup-sayup mereka mendengar ucapan ibu-ibu yang sedikit sengaja dikeraskan. Mereka dibicarakan karena tidak kunjung menikah padahal sudah sama-sama berumur.

Angan-angan sewaktu kecil mereka pun kembali.

“Apa kita pindah ke kota saja, Yang? Kita merantau di sana. Di kota gajinya juga lebih besar dari pada UMR kabupaten kita ini yang hanya cukup buat beli kuota. Di sana juga pasti nggak ada orang-orang julid kayak gitu.” celetuk Dina.

“Kamu tenang saja. Aku memang sudah merencanakan itu semua. Aku sedang menunggu kabar dari tanteku, kapan kantornya bekerja memerlukan karyawan lagi. Aku juga meminta agar kamu juga dicarikan kerja nantinya. Kita bisa hidup senang dan bebas di sana.” imbuh Cilo yang membuat Dina nampak bersemangat.

Benar saja, kini sudah dua bulan mereka sama-sama bekerja di sebuah kantor koperasi simpan pinjam berkat rekomendasi dari Tante Cilo. Masuk di bulan ketiga, Dina merasa ada yang tidak baik dengan dirinya. Bangun pagi, berangkat ke kantor, dan pulang di sore hari dengan polusi menyelimuti kemacetan di waktu pulang kerja lantas kembali ke kamar kos sepetak yang ia sewa bulanan. Di hari sabtu dan minggu Dina hanya dapat memandangi layar telponnya sambil menunggu kabar dari Ibu yang sedang sakit di desa, tanpa bisa menjenguk karena tidak mendapat izin cuti dari kantor. Cilo hanya sesekali mengunjunginya karena dia juga memiliki kesibukan yang sama dan memilih istirahat untuk hari libur.

Memang tidak ada lagi ibu-ibu julid di sana, namun tidak ada juga tetangga yang mengantarkan makanan saat mereka masak kelebihan. Jika masih di desa, mungkin saat lelah bekerja dia masih bisa memandang wajah ibunya dan menceritakan tentang pekerjaannya sambil meminum teh anget buatan ibu. Duduk di gubuk memandangi hamparan sawah hijau di hari libur. Sesekali membayangkan berkumpul dengan Rimbun, Mayang, dan Hendri yang masing-masing sudah menggendong anak-anak bayi lucu mereka. 



Lebih baru Lebih lama