Antara Cita-Cita dan Orang Tua

Jurnalis : Anggita Putri Wulandari
Editor : Hawa Riyatin Zahra
Ilustrasi seorang anak yang melihat pemandangan di waktu senja. (sumber: pinterest)

Hari ini adalah hari pengumuman siswa yang masuk dalam daftar eligible. Raut penuh harap terpasang di wajah para siswa. Tak terkecuali Bia, siswi yang dikenal paling pintar di kelas 12 IPS 1.

Nanti kalau lolos eligible jadi ke Jogja, Bi?” tanya Karin.

Jadilah, itu impianku dari lama banget mau kuliah di Jogja,” jawab Bia.

Emang boleh kamu ke luar kota? Cuma main ke rumahku aja diteleponin seharian hahaha,” ledek Karin.

Ya lihat nantilah. Akan ku usahakan semuanya demi Jogja. Jogja I'm comingggg,” ucap Bia dengan semangat.

Tepat pukul 15.00 WIB pengumuman sudah keluar dan nama Bia ada dalam daftar siswa eligible. Impiannya untuk melanjutkan pendidikan di Kota Pelajar sudah di depan mata. Tinggal meminta restu orang tuanya saja yang sepertinya akan sulit. Namun, semua akan tetap ia usahakan.

Sesampainya di rumah, Bia sudah menyiapkan berbagai alasan untuk meyakinkan kedua orang tuanya, agar keinginannya untuk kuliah di Jogja direstui.

Ibu, pokoknya Bia mau ke Jogja. Ini impian Bia sejak kecil, Bu. Nggak mungkin disia-siakan gitu saja,” ucap Bia kepada ibunya.

Tapi Jogja itu jauh, Bi. Nanti di sana kamu sama siapa, kita nggak ada saudara di sana,” sanggah Ibu.

Aku bisa mandiri kok, Bu. Kan selama ini juga aku selalu bantuin Ibu bersihin rumah, masak, dan pekerjaan rumah lainnya. Nanti juga pasti lama-lama terbiasa,” ucap Bia tetap kukuh pada keinginannya.

“Sudah kuliah di sini saja. Di sini juga banyak universitas yang bagus kok,” ucap ibu mengakhiri pembicaraan.

Bia pergi dengan perasaan jengkel dan kecewa. Baru beberapa jam merasakan kebahagiaan, sudah dibuat patah hati oleh jawaban sang Ibu. Memang benar, kalau bahagia jangan berlebihan. Pasti ada saja yang bikin kecewa.

Sebenarnya beliau juga tak tega melihat raut wajah sedih dan kecewa anak semata wayangnya. Namun bagaimana lagi, ia lebih tak tega lagi kalau harus melepas anaknya jauh sendirian di kota orang. Sebenarnya ia juga belum siap kalau harus berpisah jauh dari anaknya. Ia hanya bisa berharap semoga Bia mengerti maksud ucapannya.

Selama berhari-hari Bia mogok makan. Senjata andalannya ketika marah kepada Ibu. Dan biasanya berhasil. Tetapi kali ini Ibu tetap kukuh pada keputusannya untuk tidak mengizinkan Bia kuliah di Jogja.

“Sudahlah, Bi jangan terlalu sedih. Kuliah di sini juga nggak masalah kok. Malahan nanti kita bisa bareng-bareng lagi di sini,” hibur Karin.

“Tapi, Rin. Kamu kan tahu kuliah di Jogja itu impianku sejak dulu. Aku belajar mati-matian selama tiga tahun ini biar bisa ke sana,” ucap Bia.

“Haduh jadi bingung deh aku. Mungkin saja ibumu tidak mau kamu tinggal jauh dari beliau. Apalagi kamu anak satu-satunya. Kalau kamu pergi merantau mereka bakal kesepian di sini,” ucap Karin.

“Iya sih, tapi tetap saja...,” jawab Bia tak melanjutkan ucapannya.

“Udah udah, mending kita beli ice cream saja. Biar pikiranmu jadi fresh dan bisa mengambil keputusan nantinya,” ajak Karin.

Huft, baiklah,” ucap Bia dengan pasrah.

Sore ini, Bia berjalan-jalan di taman kota. Ia duduk di salah satu bangku dekat danau. Sembari melihat matahari yang semakin tenggelam, meninggalkan warna jingga yang indah. Setelah merenung selama satu jam di sini, ia memutuskan untuk menuruti keinginan orang tuanya. Memang benar, tidak baik melawan restu orang tua. Tidak buruk juga melanjutkan pendidikan di kota ini, pikirnya. Walaupun tidak sebesar di Jogja, tetapi di sini ia memiliki segalanya. Dekat dengan orang tua, Karin sahabatnya, dan Milo kucing kesayangannya.

Siapa tahu ini memang sudah takdirnya. Takdir yang akan membawanya pada kesuksesan yang tidak pernah ia duga. Dalam hidup adalakalanya kita harus merelakan hal yang sudah lama kita impikan. Tetapi, bukan berarti ini akhir dari segalanya. Bisa jadi ini adalah jalan menuju keindahan yang tidak pernah kita bayangkan.


Lebih baru Lebih lama