Created by Muhammad Afifullah
Editor by Atik Fadilah
Illustrasi by Hani Qodriyyah
Rencang.id — Pagi yang cerah untuk memulai hari. Kupandangi halaman rumah yang penuh dengan bunga-bunga indah menghiasi, dengan hangatnya sentuhan mentari pagi. Cuaca begitu indah, saking indahnya aku bersemangat untuk segera beraktivitas. “Beep beep,” ponselku berbunyi, menandakan Brian sudah di depan gerbang untuk menjemputku pergi ke kampus.
Dengan segera aku menemuinya di depan gerbang rumah. Saat itu kulihat dia sudah siap dengan mobilnya. Brian memanglah tipe lelaki yang pendiam, kutu buku, dan terlebih lagi dia setia. Itulah yang membuatku merasa sangat beruntung dimiliki olehnya, karena dia lebih dewasa dariku yang kekanak-kanakan ini.
Kisah cinta kami bermula saat di mana Brian sedang memata-matai seorang pengedar sabu-sabu, yang bekerja di warung makan depan kampusku. Saat aku diselamatkan olehnya dari penjual tersebut yang mengancam untuk membunuhku, dengan menodongkan senjata api ke kepalaku. Dengan sigap dan tanpa rasa takut, Brian maju ke depan dan melumpuhkan bandar tersebut. Saat itulah benih-benih cinta muncul hingga hubungan tersebut terjalin sampai sekarang.
Satu tahun dua bulan kami masih setia menjalani hubungan, dan kemungkinan tahun depan kami sudah merencanakan untuk ke jenjang yang lebih serius, yakni pernikahan. Orang tua kami pun merestui hubungan kami berdua, akan tetapi mereka semua menunggu diriku wisuda terlebih dahulu dari kampus, yang memang hanya tinggal dua semester lagi.
Brian adalah Agen Intelijen Negara yang bekerja penuh untuk menuntaskan aksi kejahatan yang sedang terjadi. Hal itu juga yang membuatku khawatir akan keselamatannya. Namun dirinya selalu memastikan bahwa hal itu sudah biasa untuk dirinya, dengan dia yang selalu memberi kabar kepadaku lewat pesan singkat.
“Hubungan yang baik, memiliki komunikasi yang baik pula,” kurang lebih seperti itu kata dosenku saat mengajarkan materi Ilmu Komunikasi kepadaku.
Setiap kali Brian pulang dari kantor, dia selalu menyempatkan untuk menemuiku. Terkadang dia mengunjungi rumah untuk bertemu denganku dan orangtuaku. Lelaki dengan rambut ikal, kulit sawo matang bersih, tinggi ideal dan tubuh kurusnya itu selalu membuatku rindu untuk berjumpa dengannya. Karena dengan kesibukannya bekerja, kami menjadi jarang bertemu.
Seorang moodboster sekaligus seorang penasihat terbaik itu selalu memotivasiku untuk tidak berpikiran negatif, dan selalu menjadi pribadi yang lebih bermanfaat untuk orang lain.
Saat di mana aku terpuruk oleh keadaan, aku selalu digugah pula dengan lontaran kata-kata motivasi darinya. Satu waktu aku menelepon Brian yang sedang mencari informasi pelaku pembunuhan yang menewaskan 2 orang aparat negara yang sedang bertugas.
“Ada perlu apa duhai mentari pagiku? Apakah ada masalah dengan kuliahmu?” Dengan lembut ia menjawab teleponku.
“Hmm iya aku ga pede ama temenku yang bisa ngerjain semua tugas itu,” ucapku dengan nada manja.
“Hadeh hahaha, jadilah dirimu sendiri Mand. Berdiri dengan kakimu sendiri. Percayalah, jika ada yang menggetarkanmu, ia tak akan mampu sebab kakimu sudah tak gentar lagi untuk digoyahkan,” lontaran motivasi darinya.
Tiap kali aku berkeluh kesah tentang kehidupanku, dia selalu ada untuk terus memotivasiku, sesibuk apapun pekerjaannya. Brian selalu memberiku semangat untuk terus berjalan di dunia ini.
Suatu malam sepulang dari misi panjangnya, Brian menceritakan kisahnya kepadaku. Dirinya bercerita, tatkala dia sedang mencari rombongan orang yang berencana untuk melakukan aksi teror di salah satu mall kota, yang mengharuskan dirinya menyamar sebagai ojek online dan pastinya misi tersebut sangatlah beresiko tinggi.
“Ini target kelas kakap lo, hahaha,” ucapnya dengan tawa bahagia seakan-akan dia tak pernah merasa takut akan bahaya yang ia hadapi.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk, kemudian kembali mendengarkan Brian bercerita.
“Tiap siang aku selalu istirahat di suatu warung, dan siapa sangka pemilik warung itu adalah targetku. Dan mereka pun tak sadar kalo aku sedang mengintai mereka, hihihi,”
“Mereka berencana membuat pemilik mall takut, hingga sang pemilik menyerahkan beberapa uang agar mereka pergi. Tapi sebelum hal itu terjadi aku manggil pasukan dong, dan hal yang tak diinginkan bisa diredam dengan cepat,” sambungnya dengan berlagak keren di depanku, dan momen seperti itulah yang sangat aku rindukan hari ini, besok dan seterusnya.
Brian tak pernah gagal dalam menjalankan tugasnya, sesulit apapun tugas tersebut. dia selalu menyelesaikannya dengan baik, bak seorang agen CIA dari negeri Paman Sam.
Walaupun Brian memiliki pribadi yang kuat sebagai seorang agen intel, akan tetapi dia memiliki hati yang begitu lembut. Suatu hari saat kami pergi berdua untuk jalan-jalan, dia melihat seorang nenek tua yang sudah renta. Beliau tertidur di depan kios toko di depan mall.
Tak banyak cakap, Brian langsung mendatanginya dan menelepon kenalannya yang bekerja sebagai pegawai dinas sosial setempat untuk membawa nenek tersebut.
Di lain hari Brian mengajakku untuk pergi ke suatu tempat. Tempat di mana dia menjalankan misinya beberapa bulan yang lalu. Yakni di pinggiran kota, tempat yang kumuh, dan miskin. Karena saat menjalankan misi, ia melihat anak-anak terlantar yang tak pernah merasakan bangku pedidikan. Kemudian Brian berencana untuk membuat sekolah gratis di sana, dan memfasilitasinya untuk mereka.
Sebagai seorang kutu buku, Brian pun ingin sekali membuat perpustakaan keliling untuk semua kalangan. Baik anak-anak, remaja, dewasa maupun orang tua. Walaupun Brian bekerja sebagai agen negara, dia pun bercita-cita untuk memajukan kualitas pendidikan di negara ini, walaupun dia bukanlah tenaga pengajar. Brian rela melakukan apapun yang dia bisa, seperti apa yang dia lakukan di hari-hari kemarin.
****
Hahaha sial aku terlalu lama mengingat semua kenangan manis itu, hingga tersadar setelah empat puluh menit menangis di samping makam Brian dengan membawa fotonya. Tak terasa sudah hampir enam tahun lamanya Brian meninggalkanku sendirian, hidup di dunia yang menyedihkan ini.
Tiga bulan sebelum kami melangsungkan pernikahan, tepat setelah Brian mengambil cuti untuk menikah, saat perjalanan pulang menuju rumah, dia mengalami sebuah insiden tabrakan beruntun yang mengakibatkan empat belas orang meninggal di tempat. Brian salah satu korban kecelakaan yang dikabarkan meninggal di lokasi kejadian.
Saat tiba di lokasi pun aku melihat Subaru WRX STi Hatchback, mobil yang biasa dia kendarai rusak parah di bagian depan hingga bentuknya hampir tak dikenali, dan jasad Brian sudah diangkut ambulance untuk dibawa ke rumah sakit. Aku pun tak kuasa menahan air mata, dan menangis histeris. Aku tak bisa menerima keadaan tersebut, yang di mana Brian meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Namun setelah lima tahun berlalu, kehidupan mengajarkanku untuk menjadi lebih kuat. Tanpa seorang moodboster, dunia menuntutku terus berusaha untuk lebih baik dari hari kemarin. Terimakasih Brian atas semua dukungan dan semangat yang telah engkau berikan selama kita berdua bersama, aku di sini sangat merindukanmu.
Amanda, 15 Februari 2013, to live eternally.