Gara-gara Tugas

Created by Putri Amalia

Editor by Aulia Rahma Triyani


Source : https://pin.it/1IsUChB

Rencang.id — Habis terang terbitlah tugas. Apa pun alasannya mahasiswa selalu salah.

**

Setelah berjam-jam berkutat dengan buku dan beberapa pertanyaan dari dosen, kelas pun akhirnya berakhir. Beberapa penghuni ruangan menghembuskan napas berat, ketika lelaki tinggi, berkacamata, dan berkumis tipis, memberi hadiah di penghujung kelas hari itu. Apalagi, kalau bukan penugasan yang menjadi tema liburan para mahasiswa di akhir pekan.

“Apanih-h, baru juga kemarin dikasih tugas, kenapa hari ini tugas lagi ya Allah.” Cibir Rena seorang mahasiswi Deadliner yang super sibuk dengan organisasinya di kampus.

“Sejak kapan Pak Ardan lihat mahasiswanya bisa tertidur nyenyak?” celetuk Putri, mahasiswi Kutu Buku yang agak sedikit lola, membuat kedua temannya memandang dengan tatapan tajam.

“Udahlah, ayo pulang aja, laper nih-h,” ajak Lia, mahasiswi Ambisius dikelas.

“Kalian duluan aja, aku masih ada kumpul sama mereka,” ucap Rena seraya menunjuk segerombolan anak yang telah menunggunya di depan gazebo.

Setelah mendapat persetujuan dari kedua sahabatnya, mereka pun berpisah, dan sibuk dengan urusan masing-masing.

**

Hampir saja, jariku mau copot.

Setelah berkutat dengan tugas seharian, mataku yang lelah ini refleks terpejam menikmati sisa-sisa malam yang sunyi, sebelum hilang tergantikan mentari pagi.

Napasku terengah-engah setelah menaiki tangga lantai empat, mataku melihat sekeliling ruangan kelas, dan ternyata sudah ada Pak Ardan sedari tadi. Tanpa membuang waktu, aku segera maju ke meja depan untuk menghampiri Pak Ardan.

Kusodor-kan resumeku padanya, “Maaf Pak, ini tugas resume saya,” dengan napas terengah-engah, aku mencoba untuk berbicara.

Pak Ardan menyipitkan mata, membenarkan kacamatanya. Tatapannya yang tajam, membuatku tak berani menatapnya, tetapi aku berusaha untuk tak menunduk.

Satu detik...

Dua detik...

“Lia, Putri, kalian maju ke depan!!! Kenapa tugas resume kalian bertiga sama persis? Bukankah kalian tahu, kalau saya ini anti yang namanya plagiarisme?” tanya Pak Ardan, dengan nada tinggi di ujung kalimatnya.

“Tapi, Pak. Saya benar-benar membuat tugas itu sendiri, dan tak ada niatan untuk menjiplak tugas mereka, Pak,” sanggah Putri, suaranya sedikit bergetar, karena lelah sekaligus kesal.

“Pak, saya juga buat tugas resume itu sendiri. Bapak tahu kan, kalau saya sering mengumpulkan tugas lebih awal dari kedua teman saya ini? Pasti mereka yang menjiplak tugas saya, Pak,” timpal Lia, tak mau kalah mempertahankan kebenaran.

Rena yang sedari tadi berdiri di depan meja Pak Ardan, ikut angkat bicara, menyadari dirinya yang kini terpojokkan, “Heh, kalian berdua! Meskipun aku suka ngumpulin tugas mepet, dan sering nyontek, tetapi kali ini aku juga buat sendiri tau.”

Brak!

Pak Ardan memukul meja cukup keras, membuat ketiga mahasiswi itu bisu seketika.

“Diam kalian, tak usah banyak alasan. Pokoknya, Bapak bakal kasih kalian nilai nol, dan kemungkinan kalian harus mengulang mata kuliah ini tahun depan, sampai dari kalian ada yang mengakui siapa pelaku aslinya. Sekarang, cepat kembali ke tempat duduk kalian!! Bikin tambah pusing saja kalian ini.” Putus Pak Ardan dengan napas yang naik turun, karena sudah pusing dengan alasan tak jelas dari mahasiswanya tersebut.

“Tapi, Pak, kita sudah cape-cape—” belum sempat melanjutkan ucapannya, Lia pun langsung dibantah.

“Apa! Tak ada tapi-tapian!” Pekik lelaki itu, membuat Lia terperanjat.

“Iya, Pak.” Lia pun, mengakhiri perdebatannya dan segera kembali ke tempat duduknya, dan meninggalkan Pak Ardan yang tengah memijat kepalanya. Juga, diikuti dengan kedua temannya yang kini saling menjaga jarak.


Hening, tak ada yang memulai percakapan di antara mereka, semuanya saling mengumpat dalam hati masing-masing. Hingga pada akhirnya, suara dering ponsel memecahkan suasana. Mendapati suara ponsel itu dari Rena, dia sedikit melirik kepada kedua temannya, dan sedikit menjaga jarak.

“Halo, iya Kak nanti saya transfer.” Setelah mendapat persetujuan dari orang diujung telepon, Rena memasukkan ponselnya dengan kasar dan mendengus lirih.

Di sepanjang koridor kampus, ketiganya hanya diam dan bergelut dengan pikiran masing-masing. Suasana sedikit hidup, ketika dering ponsel memecah keheningan kembali. Kali ini, Lia yang menjaga jarak, ketika melihat nama tersebut yang terpampang dilayar ponselnya.

“Hem, oke Kak, kirim saja nomor rekeningnya... Oke.” Setelah menutup ponsel, Lia memandangi kedua temannya, “Kenapa sih, kalian enggak ngaku aja? Biar enggak panjang urusannya,” cetusnya, dengan nada kesal.

“Ngaku apa si, maksudmu? Jadi, kamu nuduh kita nyontek gitu?” tanya Rena, dengan nada ketus.

“Yaa-aa, siapa lagi? Kutu Buku enggak akan menjamin dia selalu bikin tugas sendiri, apalagi si tukang Deadliner,” beber Lia, sambil tersenyum kecut.

“Heh! Jangan sembarangan kalau ngomong ya!” Tangkas Rena, sementara Lia hanya mengangkat bahunya.

“Woy, Putt-tt!! Ponsel kamu, bunyi tuh,” tegur Lia, sambil menghindari tatapan tajam dari Rena.

Putri yang sedari tadi melamun, langsung gelagapan, dan segera mencari ponselnya di dalam tas kemudian mengangkatnya. 

“Iya, sebelumnya terima kasih, tapi lebih baik bertemu langsung ya, karena nomor rekening saya ter-blokir. Oh ya, hasilnya bagus, cuma kurang memuaskan. Soalnya sama persis kayak punya teman saya.” Putri pun selesai berbicara dengan orang di penghujung telepon. “Astaga!” Putri sontak kaget, dan hampir menjatuhkan ponselnya, menyadari kalau kedua temannya itu sedang mendekatinya sambil membulatkan kedua mata.

“Oh... ternyata kamu itu joki tugas ya, Put?” tanya Lia.

“Duhh-h, Putri beloon banget sih... kenapa kamu bisa lupa kalau kita ada di sini?” gumam Rena.

“Eh... enggak, siapa yang joki? Aku buat tugas sendiri kok,” bantah Putri, dengan muka yang memerah bak Kepiting Rebus.

“Sudah Put, ngaku aja kali. Soalnya, aku juga iya.”

Kalimat yang ter-lontar dari Lia, membuat Rena dan Putri melotot, tak percaya.

“He-heh, ya... walaupun aku termasuk anak Ambis, tetapi tugasnya Pak Ardan kali ini, aku beneran enggak paham sama sekali dengan materinya. Otakku agak ngelag juga. Jadi, sekali-kali aku nyoba joki tugas. Hiks... ya, ini rahasiaku yang harus kalian maklum-i, haha-ha,” ungkap Lia.

“Maaf yaa... sebenernya aku juga joki. Kan kalian tau sendiri, kalau aku ikut banyak organisasi, lagi sibuk sama program kerja, dan kegiatan yang berjibun, sampai enggak bisa bagi waktu dengan baik. Yaah, alhasil aku pakai jasa joki tugas. Ehh, malah kita pesen ke orang yang sama. Hmmm... aku yakin sih, dia sebenernya juga lagi sibuk, tapi kepepet butuh uang, haha-ha-ha.” Lontar Rena, dengan sedikit mendesis diujung kalimatnya.

“Maafin aku ya Ren, Put, udah egois, dan nyalahin kalian,” ujar Lia, sambil mengacak rambut kedua sahabatnya, membuat benteng pertahanan dimata mereka hampir roboh.

“Enggak Lia, aku juga salah, udah ngakuin sesuatu yang bukan karyaku sendiri. Selama beberapa hari kemarin, sebenernya aku lagi suka baca novel sampai enggak sadar kalau deadline-nya tinggal satu hari lagi. Kalian taukan, kalau aku lagi panik? Pasti enggak bisa mikir apa-apa. Sampai akhirnya, aku memutuskan buat joki tugas.”

Rena dan Lia memandang Putri dengan mata sendu. Mereka pun saling berpelukan, meluapkan prasangka buruk, dan penyesalan melalui air mata. Gara-gara tugas, mereka sadar, bahwa tidak selamanya cover mewakili sebuah isi, dan saling memahami adalah kunci dalam menjalin kepercayaan. Mereka pun, berniat untuk memperbaiki kebiasaan yang merugikan, dan saling mempererat hubungan persahabatan dengan kejujuran.

“Yaaa... kali-kali joki juga, enggak papa, kan? Asalkan pastiin dulu orangnya beda haha-ha-ha,” pungkas Lia, membuat kedua temannya tertawa dan mengacungkan jempol bersamaan.

***

Keesokan harinya, dengan terpaksa ketiga mahasiswi tersebut memberanikan diri untuk menemui Pak Ardan.

“Permisi, Pak,” salamku seraya memasuki pintu ruangan.

“Sebelumnya kami mau minta maaf, karena kemarin, kami bertiga ngumpulin tugas yang sama, dan kami mengakui kalau tugas yang kemarin memakai jasa joki tugas yang sama.” Ujar Rena.

“Karena kalian sudah melakukan kesalahan, dan berani mengakui kesalahan. Jadi, kalian bertiga resume materi sebanyak 10 lembar, dan nanti sore harus ada di meja saya.” Tegas Pak Ardan.

“Iya, Pak.” Ucap ketiga mahasiswi tersebut, dengan saksama.

Lebih baru Lebih lama