Rencang.id — Agaknya jika
kita berjalan-jalan di trotoar depan kampus UIN Raden Mas Said Surakarta dalam
sesaknya barisan ruko dan warung makan, mata kita sudah terlalu akrab dengan
banner berwarna merah, hijau, dan kuning yang membentang di sisi jalan.
Berbicara tentang warung Burjo, sudah tentu tempat ini menjadi primadona bagi para pelaku usaha di sekitar kampus. Harganya yang terjangkau ditambah lagi dengan tempat yang cocok untuk nongkrong membuat Burjo kerap menjadi incaran para mahasiswa, terutama di akhir bulan. Warung Burjo, tampaknya sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari cerita kehidupan perkuliahan tatkala perut mulai keroncongan.
Burjo
Alim Rugi, tempat yang tak asing bagi mahasiswa yang nge-kos dan tinggal di
lingkungan sekitar Keraton Kartasura atau dekat Masjid Al-Fatah Pucangan.
Banyak mahasiswa yang
belum mengetahui bahwa tempat ini menjadi saksi sejarah menjamurnya tren warung
Burjo di lingkungan UIN Raden Mas Said Surakarta hingga saat ini.
Sebuah bangunan kecil
yang berdiri di sisi benteng Keraton Kartasura tampak selalu ramai dikunjungi
saat malam hari. Mereka yang datang didominasi oleh mahasiswa, karyawan, dan
masyarakat sekitar yang ingin mengisi perut atau sekedar nongkrong bersama
teman dan kolega.
Pada Jumat Malam
(14/10/22) tampak sosok berperawakan tinggi besar dengan paras usia 50-an yang
sedang santai merokok dari balik etalase makanan yang sudah hampir ludes
terjual. Namun, siapa yang tahu? Di balik perawakannya yang tinggi besar, dia
merupakan sosok yang ramah dan murah senyum.
Dialah Abdul Majid (51)
pria yang kerap disapa Ajid bersama dua karyawannya, Ade (43) dan Eman (33)
merupakan seorang perantau kelahiran Kuningan yang sudah menapaki dunia usaha
Burjo di kota Solo semenjak tahun 1989. Kepada penulis dia menceritakan kisah
perjalanan dalam menekuni usaha bisnisnya.
Berawal dari
pandangannya yang terbawa arus lingkungan akibat banyak teman dan
kerabatnya yang sukses menjadi pengusaha Burjo. Dengan dilandasi keinginannya
untuk membuka lapangan pekerjaan bagi tetangga, kerabat, serta nasihat dari
pamannya, maka bisnis usaha Abdul Majid pun dimulai.
Hanya dengan berbekal
modal perabotan memasak komplet dan beberapa bungkus mi instan, dia membuka
warung Burjo pertamanya di depan kampus Universitas Slamet Riyadi. Perlahan
tapi pasti usahanya mulai menyebar ke berbagai tempat seperti; SMAN 5 dan SMAN
6 Surakarta; Kampus UNS, benteng kota, hingga wilayah
UIN Surakarta (dulu IAIN).
"Mula-mula
datang ke Solo saya dikasih modal awal meja, piring, perabotan komplit; dan
modal dagangannya Indomie dua bungkus, telur dua biji, gula dua kilo, kacang
dua kilo, ketan dua kilo. Jadi bener-bener mulai dari nol banget. Modal nekat
dan percaya diri aja," kenangnya sambil mengisap rokok Dji Sam Soe yang nyaris padam.
Meskipun
demikian, perjalanan usahanya tak semudah membalikkan telapak tangan. Dia rela
memakan sisa kerak bubur untuk memaksimalkan penghasilan usahanya. Tak jarang
juga, dia hanya makan mi instan sebanyak dua kali sehari demi prinsipnya sebagai seorang pengusaha.
Belum lagi pandemi
Covid-19 membuatnya harus menutup beberapa cabang usaha yang beroperasi. Namun
hal itu tak memadamkan tekadnya sebagai seorang pengusaha.
"Kalau
makan sehari Indomie dua bungkus nggak pakai nasi, dipaksa-paksakan terus
dinikmati. Usaha sendiri hasil sendiri, memang memuaskan gitu. Tidak merasa
terbebani," ujar pria kelahiran 1971 itu, dengan
logat sunda yang kental.
Waktu terus berjalan,
hari demi hari dilaluinya. Berkat ketekunan, doa, usaha dan kegigihan Ajid
dalam menjalani usahanya, kini Burjo Alim Rugi sudah memiliki enam cabang di
kota Solo termasuk dua cabang yang beroperasi di daerah UIN Raden Mas Said
Surakarta dan beberapa cabang lainnya di kota Yogyakarta, Tangerang, Jakarta,
dll.
Sebelum pandemi, Ajid
dapat meraup keuntungan sekitar 15 juta per-kios/cabang. Bahkan dia menjadi
pelopor warung Burjo di lingkungan UIN Surakarta semenjak didirikan pada tahun
2014, mengingat dalam kurun waktu tersebut tren warung Burjo tak setenar kini.
"Burjo pertama di
wilayah UIN, waktu itu belum ada burjo, baru ada saya. Berdiri sendiri sekarang
banyak."
Kiranya itulah ulasan
singkat mengenai sejarah tempat makan yang satu ini. Tak terasa rokok Abdul
Majid sudah padam, lalu dia berbicara pada karyawannya, Ade dan Eman tentang
tips dan trik dalam memasak sambil menyeruput kopi hitamnya.
Setelah wawancara
selesai kamipun kembali bersenda gurau menggunakan bahasa sunda
(mengingat penulis juga berasal dari daerah yang sama). Kini dijumat malam yang
dingin, Burjo inipun sudah mulai penuh dengan pelanggan yang memesan
makanan.
Bagi penulis, Burjo
Alim Rugi akan selalu menjadi tempat spesial dan bersejarah yang penuh dengan
kehangatan, di mana tempat ini mengingatkan penulis akan kampung halamannya
yang berada di Jawa Barat.