Created by Candra Permana
editor by Muhammad Afifullah
Rencang.id — Ujian adalah hal yang menyebalkan bagi sebagian pelajar. Tak terkecuali Raina, remaja kelas dua IPS di salah satu SMA di Solo ini memasuki gerbang sekolah dengan rasa malas. Dari kejauhan, terlihat Bagas berjalan mendekatinya.
"Tanganmu
kok seperti air baru mendidih?" tanya Bagas pada Raina,
"Iya
nih, semalam aku kehujanan gara-gara beli papan ujian." jawab Raina dengan
wajah memelas, diikuti ekspresi khawatir dari teman-temannya.
Jam
sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi, yang artinya Raina harus memulai
ujian di hari pertamanya, yakni mata pelajaran matematika. Badan Raina semakin
lemas karena tenaganya terkuras untuk menyelesaikan ujian ini. Sesekali ia
menunduk melas dan bolak-balik mengecek jam dinding di belakang kelas, dengan
harapan ia akan segera keluar ruangan dan kembali pulang kemudian beristirahat.
Bagas tak bisa melepas pandangannya dari Raina, ia juga berharap bisa cepat
keluar dari ruang kelas dan mengantarnya pulang.
Jam
menunjukkan pukul sembilan dan akhirnya bel berbunyi, yang artinya mereka bisa
meninggalkan ruangan. Raina mengambil tas dan bergegas keluar, kemudian disusul
oleh Bagas.
Raina
tak bisa membiarkan tubuhnya jauh dari kasur kamarnya yang empuk. Ia terlelap
sampai pukul setengah tujuh petang hari. Ia membuka mata dan sontak terkejut,
karena menyadari bahwa besok adalah ujian Geografi.
"Dasar bodoh! besok ujian Geografi dan aku harus menghafalkan banyak materi, mana bisa jam segini aku baru mulai belajar!" Teriak Raina kepada dirinya sendiri.
"Loh
eh, dah bangun nak? Ini ada teh buat kamu, diminum ya." Ucap ibu menengok
kamar Raina dengan membawakan secangkir teh hangat.
Dengan
segala kebingungan, ia menyeruput teh manis yang dibuatkan ibunya. Ia harus
memilih tetap mengikuti ujian Geografi dan harus bersiap untuk mendapatkan
nilai kurang karena ia belum belajar.
Di
satu sisi, ia bisa menghubungi Bagas dan mengikuti ujian susulan bersamanya,
dengan harapan bisa mendapat nilai lebih baik. Namun ia harus memikirkan sebuah
alasan logis yang dapat diterima oleh ibu. Kepalanya semakin pusing memikirkan
ujian Geografi dan Bagas. Ia mondar-mandir di kamar seluas sembilan meter
persegi yang bercatkan abu-abu, dengan memikirkan langkah yang ingin ia ambil
kedepan.
Jam
menunjukkan pukul sembilan malam, dan Raina belum memutuskan apa yang harus ia
pilih. Pusing di kepalanya semakin menjadi-jadi sampai air matanya membasahi
pipi yang panas karena demam.
Dalam
isakannya, Raina memutuskan untuk mengikuti ujian Geografi susulan karena ia
tidak akan bisa belajar materi sebanyak itu dalam waktu delapan jam saja. Ia
tak mau mengurangi waktu tidurnya demi belajar Geografi.
Kali
ini kepalanya kembali dipusingkan untuk mencari alasan ijin ke ibu. Setelah
mendengar Raina, ibunya marah karena mendapati Raina yang belum belajar.
Kemudian ibu meninggalkan kamar Raina begitu selesai memarahinya.
Akhirnya
Raina menangis begitu keras sampai terdengar oleh Ibu. Ibu panik, dan kembali
berlari menuju kamar Raina. Ia mendapati anaknya lemas di ujung kamar sambil
menangis. Tanpa pikir panjang, orangtua Raina membawanya ke klinik terdekat dan
meminta surat ijin untuk meninggalkan ujian esok hari.
"Yess,
akhirnya caraku berhasil," batin Raina.
Ia
tidur dengan tenang malam ini setelah meminum obat.
Pagi
harinya, Bagas tertunduk lemas karena menemukan kekasih hatinya tidak mengikuti
ujian Geografi pagi ini. Hatinya tak karuan, pikirannya entah kemana, Bel
berbunyi, dan ujian dimulai. Bagas ingin segera menyelesaikan ujian geografinya,
agar bisa segera menemui Raina.
Bu
Erly selaku guru pengawas ujian tersenyum saat mengecek kembali lembar
presensi. Ternyata Bagas menuliskan, "Lekas sembuh Rainaku."
Handphone
Raina berdering berkali-kali, group kelas ramai membicarakannya. Ya benar
sekali, membicarakan tulisan Bagas. Wajah cantik Raina memerah ketika melihat
foto presensi hari ini.
"Terimakasih
Bagasku." batin Raina diikuti senyum yang merekah di wajahnya.