Created by Rahma Putri Azizah
Editor by Ramadan Dwi Prasetyo
Source: Hanny Qodriyyah
Rencang.id — “Ayo... ayo... ayo....”
“Tarik... tarik... tarik....”
Suara para siswa dan gemuruh tepuk tangan
bersahutan menyemangati kelasnya yang sedang lomba. Setelah Ujian Akhir
Semester (UAS) selesai, pihak OSIS menyelenggarakan class meeting dengan
berbagai macam lomba.
Class
meeting hari ketiga
berakhir. Zara dan teman-temannya bergegas ke kelas untuk mengambil tas dan
pulang.
“Besok aku nggak datang ya. Mau pergi ke Solo ada
acara penting.” izin Zara pada teman-temannya.
“Oke siap.” jawab mereka serempak.
“Isti, boleh bareng nggak? sampai depan rumah
sakit, boleh?” tanya Zara.
“Boleh, ayo Za.” jawab Isti.
Mereka berdua bergegas menuju rumah sakit.
“Is, terima kasih. Kamu pulangnya hati-hati ya.”
ingat Zara.
“Ia Za, aku balik dulu ya.”
Setelah Isti pergi, Zara berjalan masuk ke halaman
rumah sakit. Menyusuri setiap lorong, mencari ruangan dimana cinta pertamanya
dirawat.
Sampailah Zara di ruangan ayahnya terbaring.
“Assalamu’alaikum.” ucapnya sembari membuka pintu. Tak tega melihat ayahnya
terbaring lemah yang dibantu dengan alat pernapasan.
“Zara udah datang, Nak.” sapa Ibu dari balik pintu.
Zara menyalami ibunya.
“Bu, nanti aku pulang bareng Mas Diaz ya, tadi udah
ngomong kalau minta jemput di rumah sakit. Tapi Mas Diaz pulang nanti jam 9
malam.” jelas Zara.
“Kamu keluar ya, duduk di depan aja.” perintah Ibu. Zara menurutinya. Sebab Zara tidak boleh terlalu lama dekat dengan ayahnya.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00. Zara lupa jika
harus segera meminta izin pada ibunya untuk pergi ke Solo esok hari. Namun,
sampai detik ini Zara tidak mendapatkan teman untuk pergi. Sehingga ia
mengurungkan niatnya hadir dalam acara Haul Solo besok. Mengingat ayahnya yang
masih terbaring di rumah sakit, semakin membulatkan tekadnya untuk
mengikhlaskan tidak hadirnya ia dalam acara tahunan tersebut.
“Tidak apa, masih ada tahun berikutnya, semoga Allah
mengizinkan hadir kembali.” harapnya dalam hati.
Sudah pukul 21.00, Diaz sampai beberapa menit yang
lalu. Duduk bersama Zara di depan ruang ayahnya dirawat.
15 menit berlalu, Zara pulang bersama Diaz.
***
“Bu, saya izin besok pengambilan nilai tidak
datang. Dari keluarga pun tidak bisa mewakili. Nilai akan saya ambil setelah
suasana di rumah saya mulai membaik.”
“Kenapa? memangnya ada apa di rumah?” tanya wali
kelas.
“Saya tidak bisa mengatakannya, Bu.” jawab Zara
singkat.
“Kalau begitu, nilai harus tetap diambil besok.”
“Bu, saya mohon. Izinkan saya mengambilnya setelah
suasana membaik. Tidak akan saya ambil sendiri, saya akan mengajak ibu atau
kakak.” izin Zara.
“Tidak bisa. Apakah kamu lupa setelah pengambilan
nilai besok, sekolah libur? sekolah akan mulai awal januari nanti. Pengambilan
nilai tidak bisa dilayani saat libur sekolah.”
Penjelasan wali kelas membuat Zara menitikkan air
mata. Air mata semakin deras membanjiri pipi. Ia menatap wali kelasnya dengan
amarah yang cukup tinggi. Wajahnya mulai memerah. Ia berdiri.
Braaakk...!! Zara menggebrak meja di depannya tanpa
takut. Ia tidak peduli bahwa wali kelasnyalah yang dihadapi.
“Bu. Ibu tahu tidak, kalau nilai bisa diambil besok?
masih banyak waktu untuk mengambilnya. Ini yang bakal diambil besok itu nyawa.
Kalau yang diambil nyawa, nggak bakal ada hari esok lagi Bu.” jelas Zara dengan
marahnya.
“Terima kasih.” lanjutnya lalu pergi meninggalkan
wali kelas.
Zara terbangun. Ia tidak mengerti apa maksud
mimpinya. Ia hanya berharap mimpinya sekadar bunga tidur. Zara melihat jam dinding
menunjukkan pukul 04.00 ia bergegas mengambil air wudhu dan menunggu kumandang
subuh.
***
Pukul 06.30 Zara diantarkan Diaz ke rumah sakit
bukan Haul Solo seperti niatnya di awal meliburkan diri. Di perjalanan, Zara
masih terus mengingat maksud dari mimpinya semalam. Namun, ia tidak ingin
menceritakannya pada siapapun, termasuk ibu dan kakaknya. Sebab, ia tidak mau
keduanya lebih terbebani lagi.
Sesampainya di ruangan ayahnya dirawat, tidak hanya
ibu yang Zara lihat. Ada nenek dari ayah yang turut di sana. Beberapa menit setelahnya
nenek pamit pulang terlebih dahulu.
“Za, ibu mau mandi dulu Kamu jaga bapak ya.”
perintah Ibu. Zara hanya mengangguk.
15 menit kemudian, Ibu berdiri di seberang pintu.
Terdengar sayup-sayup lantunan dzikir tahlil dari dalam. Ia melihat Zara yang
sedang fokus menatap gawainya.
“Streaming ya, Za?” tanya Ibu yang baru masuk.
“Iya Bu.”
“Kenapa nggak berangkat aja, Za? Kamu juga nggak
sekolah hari ini.”
“Nggak apa-apa Bu. Zara nggak dapat teman berangkat
ke sana. Lagi pula, Bapak masih dirawat di sini. Belum rezeki Zara buat hadir
Haul Solo tahun ini Bu.” jawab Zara lalu tersenyum.
“Oh iya Bu, tadi dapat pesan dari Habib Yahya.
Beliau mau datang kalau Bapak udah pulang ke rumah.” lanjutnya.
“Iya.” jawab Ibu singkat.
Siang harinya, Ayah Zara yang jarang berbicara
tiba-tiba mengatakan, “muleh.” beberapa
kali. Dalam bahasa jawa, muleh artinya pulang. Ibu Zara segera mengurus
kepulangan suaminya, meskipun Dokter belum
mengizinkan pulang. Zara hanya bisa memperhatikan. Ia melihat ayahnya yang
sudah merasa berat untuk membuka mata sudah merasa risih dengan selang di
hidungnya.
Cukup lama pihak rumah sakit mengizinkan Ayah untuk
pulang. Pada pukul 17.00 dokter baru mengizinkannya. Zara dan keluarga bergegas
merapikan barang-barang yang sudah dibawa.
***
Sesampainya di rumah, Zara segera membawa barang
masuk. Beberapa menit setelahnya, adzan maghrib telah berkumandang. Ibu
menyuruh Zara untuk sholat terlebih dahulu, agar ia bisa menunggu ayahnya
bergantian. Diaz juga sudah sampai di rumah.
Rumah Zara tiba-tiba sesak. Para tetangga datang
berkunjung. Membacakan surat yasin dan memanjatkan do’a. Namun, napas Ayah Zara
mulai pendek. Sekujur badannya mulai dingin. Beberapa saat kemudian Ayah
dinyatakan meninggal dunia. Tangis terdengar dari rumah duka. Air mata pun membanjiri pipi Zara. Namun ia berusaha menenangkan kakak laki-lakinya yang tangisnya lebih
pecah.
Keesokan harinya, pemakaman dilangsungkan.
Hari-hari selanjutnya diadakan pembacaan Al-Qur’an,
dzikir tahlil, serta do’a di rumah duka. Zara kembali teringat dengan Haul Solo
beserta mimpinya.