Tentang Kebenaran

 

Created by Novi Dwi Putri Lestari

Editor by Muhammad Afifullah


Source: Bobo.ID

 

Rencang.id — Menara itu masih sama, setidaknya sampai hari ini, masih ada satu orang yang ringan tangan untuk merawatnya. Dari beberapa kesempatan yang kuambil, sepertinya kali ini Tuhan melengkapi kedatanganku dengan kabar baik. Bersandar pada sebuah batu besar yang tak menyerah dihantam ombak, aku mendongak begitu menyadari tatapanmu yang memandangiku dari atas menara. Dari sini aku bisa melihat lambaian tanganmu begitu antusias seolah tengah menyapa sahabat karib yang telah kamu kenal seumur hidup.

Aku menyadari satu hal penting semenjak 45 menit kedatanganku, bahwa kamu di atas sana melupakan janji yang telah kita buat pekan lalu. Kubalas lambaian antusiasmu dengan bersedekap dan memalingkan pandangan pada garis langit di ujung sana. Rasanya seperti waktu memberikan kesempatan kedua, membiarkanku sekali lagi merasakan perasaan menegangkan seperti tujuh tahun yang lalu.

“Kamu punya minum tidak? Aku lelah berlari dari atas ke sini. Pencahayaan di sekitar tangga sangat buruk, aku tersungkur empat kali selama pelarianku.” ucapmu membuka pembicaraan.

Aku melangkah mendekati garis pantai setelah tahu bahwa keluhanmu tidak akan putus sebelum langit yang dipenuhi warna jingga memutuskan berganti menjadi biru gelap. Jadi aku menoleh pada tebing di sebelah kiri sembari meraba saku kemeja untuk memastikan keberadaan kertas yang tak pernah absen dalam setiap perjalananku.

“Aku belum selesai mengeluh ri. Aku beneran haus dan kamu mengacuhkanku. Eh, botol imut itu masih awet juga, ya,” lanjutmu dengan napas terengah-engah.

Setelah memastikan kertas tua yang kubawa masih terlipat rapi dalam saku, kutunjuk laut lepas sembari menjawil lenganmu.

“Jahat sekali ri. Harusnya aku sudah tahu bahwa kamu akan lebih tega aku mati dehidrasi setelah minum air pantai ketimbang membiarkan botol imut itu menyentuh bibirku.” Kamu berlari mengejar ombak tipis di bibir pantai sambil merentangkan kedua telapak tangan seolah benar-benar akan meminum air asin itu.

Melihatmu berlomba dengan ombak selalu membuat dadaku sesak. Kamu mengadopsi bagaimana cara ombak bernapas. Saat dia melakukan itu, aku meniru adegan tersebut dengan tersenyum konyol. Pukul lima sore ini, kita mengulang segalanya.

Seperti biasa, pertemuan kali ini dimulai dengan telingaku yang bersedia mendengar ocehanmu tentang tujuh benua sesuai urutan terbesarnya. Itu kegiatan yang biasa kamu lakukan dulu bersamanya, beruntungnya aku mewarisi kesabaran telinganya. Lalu sore itu dihabiskan dengan celotehanmu yang tidak akan berhenti jika aku tidak mengeluarkan kertas lusuh di 20 menit terakhir yang kupunya.

Sudah tujuh tahun berlalu sejak tulisanmu di kertas itu mengguncang banyak pihak. Tetapi reaksimu tetap datar, seolah itu hanya kupon undian berhadiah mobil mainan atau paket umroh, bukan kertas yang membuatmu harus menghilang seperti ini.

“Kalau kamu mau tetap seperti ini di sisa umurmu, silakan. Tapi jangan coba-coba mencegahku. Aku kesini untuk pamit, bukan untuk mendengar omong kosongmu.” Suara pertamaku sejak pertama datang membuatmu bereaksi lebih manusiawi daripada satu jam terakhir.

Ekspresimu mencerminkan ucapan yang akan kamu katakan selanjutnya.  Namun, alih-alih mencegahku dengan rentetan omong kosong mengerikan atas resiko yang akan kudapat, kamu hanya menghela napas.

Tujuh tahun yang lalu dia juga mengatakan hal yang sama. Kamu bersamaku di sini ketika dia mengucapkan tekadnya. Berbekal koran sialan itu pula, persis sepertimu. Aku tidak akan mencegahmu, tidak sampai hati aku menakut-nakutimu dengan resiko yang akan kamu tanggung. Tapi biar kutanya, apa yang membuatmu yakin perjalananmu kali ini akan berbeda dengan dia?” ucapmu lembut sembari ikut menatap kertas yang ku genggam.

“Aku tidak berharap ini akan berbeda,” jawabku lirih.

“Ku kira kamu sudah setuju, untuk tidak mencari tahu apapun yang berkaitan dengan tulisan di kertas itu.” ucapmu sambil menundukkan pandangan.

“Tidak ada yang bisa mengusik jiwa aktivis dan hati nuraninya setelah dia membaca tulisanmu. Dia berjuang, melewati, untuk apa yang para petinggi sebut dengan kesejahteraan rakyat. Walaupun yang mereka lakukan hanya sandiwara dengan berlapis-lapis kebohongan. Investigasinya masih setengah jalan ketika dia tidak pulang malam itu.”

Aku sudah menyiapkan pidato itu selama satu pekan. Dan kamu mengetahuinya. Sebab kamu tidak berkaca-kaca atau bereaksi sedih seperti ketika kamu mengenangnya. Kamu hanya mengernyit. Maka, aku melanjutkan pidato yang tulus.

“Kejujuran, keadilan. Di mana juga nanti, junjung tinggi semua itu. Nggak peduli diburu bahaya sekalipun, setidaknya kamu masih mempertahankan rasa manusiawimu sampai akhir.” sambungku sembari meatap lurus matanya.

“Itu yang dia ucapkan setiap kali kamu akan memulai investigasi. Ingat, kan?” kataku yakin.

Kamu menghela napas dengan keras dan lambat, seolah dokter yang akan menyampaikan kabar duka kepada keluarga pasien yang ditanganinya. Melirik arloji pria yang seolah salah tempat di lengan kurus wanitaku, aku menghela napas.

"Biar aku yang melanjutkan. Aku tidak memiliki siapapun, kecuali seorang kakak laki-laki bodoh yang mati tujuh tahun lalu setelah menyombongkan diri akan menggulingkan singgasana busuk negara ini dan memerjuangkan hak rakyat. Kamu masih punya Nirkala, yang masih terlalu kecil untuk ikut serta dalam petualangan ini. Dimanapun kakakku saat ini, dia pasti akan murka kalau tahu anaknya menjadi bagian dari ini. Tetaplah di sini.” ucapmu meyakinkanku untuk berhenti.

“Aku sudah berjanji padanya untuk menjagamu ri, dia akan kecewa,” sambungmu sembari menulis namanya di pasir.

“Aku akan lebih berhati-hati. Aku sudah belajar banyak selama tujuh tahun ini. Aku akan kembali sepuluh, atau mungkin 20 tahun lagi. Aku tidak akan kembali sebelum mengetahui kebenarannya. Tapi aku berjanji akan kembali. Bersamamu mengenang kakak seperti hari ini. Mungkin saat itu Nirkala sudah seusiaku saat ini,” ujarku sambil menyenggol pundakmu dengan botol imut pemberiannya tujuh tahun lalu.

“Tolong berikan ini pada Nirkala, dia lebih membutuhkan ini untuk mengenang ayahnya. Aku akan menjemput ayahnya, jadi aku tidak memerlukannya.” lanjutku.

Aku menggenggam tangan kurusmu, menghentikan aktivitas melukismu di pasir pantai. Menyeretmu dari dunia yang akan kamu masuki setiap kamu mengenangnya.

“Kamu menyayanginya?”

“Aku mencintainya.”

“Lalu kenapa kamu lepaskan dia hari itu? Padahal kamu tahu betul dia akan menghilang seperti aktivis yang lain.”

“Dia kembali kepada yang lebih mencintainya, Allah SWT. Jadi apa yang harus kukhawatirkan? Dia sudah menerima takdirnya, aku tidak akan mencegahnya”

Kamu akan teringat, masih ada sesuatu yang bisa kamu perjuangkan tentangnya. Tentang kebenaran,” ujarku mengakhiri percakapan.

Kamu mengerti. Seperti kamu mengerti kakakku, seperti itu pula kamu melepasku. Tanpa pelukan atau tangisan. Kamu hanya menepuk pelan kepalaku lalu berlalu. Kembali di tempat teraman bersama malaikat kecilmu.

Jika kamu menciptakan jutaan dunia untuk mengenang kepergiannya, yang kuciptakan hanya amarah. Tidak ada yang berlebihan jika itu berhubungan dengan kehilangan. Biarkan para tikus itu melihat dengan jelas kerusakan yang mereka ciptakan. Ribuan manusia yang menyaksikan kepergian keluarga, saudara, dan kekasih tanpa pernah kembali. Kebenaran yang mereka bungkam dengan satu-satunya yang bisa otak bodok mereka pikirkan, kematian. 

Berjalan menyusuri garis pantai, aku memaksa diri mengeruk sebanyak mungkin kenangan yang bisa diambil untuk kemudian dibawa sampai sisa hidupku.

Angin berhembus. Selagi menemukan ingatan yang tersisa tentang dia. Menengok ke belakang, aku melihat tulisan pasir itu hanyut terbawa ombak. Seperti terakhir kali pemilik nama itu terlihat, di dunia ini.

 


Lebih baru Lebih lama