Created by Novi Dwi Putri Lestari
Editor by Aulia Rahma Triyani
Rencang.id
— Perbedaan keyakinan agama sudah menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan
manusia. Indonesia pun tidak terlepas dari perbedaan tersebut. Mengutip dari
Pasal 1 UU PNPS No 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama, yang berbunyi, “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di
Indonesia ialah Islam, Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Hu Cu”. Dalam
pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Indonesia mengakui 6 agama resmi bagi
penduduknya. Dari sekian agama tersebut, perlu diketahui bahwa semua agama
tentu mengajarkan tentang toleransi. Meski begitu tidak sedikit yang berseteru
dan bersitegang bagi mereka yang berbeda agama dan hidup dalam satu wilayah
yang sama. Toleransi tidak cukup hanya sekedar seruan atau pernyataan menerima
perbedaan yang ada, tetapi juga diperlukan kesadaran yang penuh akan pentingnya
sikap menghormati. Prinsip toleransi yang muncul karena kesadaran akan membuka
pandangan terhadap kebebasan memeluk keyakinan bagi setiap manusia. Maka, bukan
tidak mungkin jika konflik antar agama dan polemik yang panas dapat
terhindarkan di Indonesia.
Secara
umum, toleransi mengacu pada sikap terbuka, saling menghormati, lapang dada,
menghargai di tengah keberagaman yang ada. Bahkan meskipun sudah sepakat untuk
saling bahu membahu dan bekerja sama, namun masih ada saja batasan tak kasat mata, yang seolah menjadi
hal yang tidak boleh dilewati bagi mereka yang berbeda atau bagi mereka yang
tidak terbuka dalam menerima perbedaan. Sikap toleransi sangat sulit diterapkan
jika masyarakatnya tidak mau berpikiran terbuka, yang kemudian menjadi sebab
banyaknya konflik antar agama di Indonesia. Kebersamaan yang seharusnya terjadi
dari wujud sikap toleransi menjadi hal yang sulit dicapai.
Hanya
saja pergulatan persepsi juga hal yang tidak bisa diacuhkan begitu saja. Bahkan
meski disediakan ruang diskusi untuk menyadarkan toleransi, perbedaan karakter
personal tidak ketinggalan ikut andil dalam menghambat sikap toleransi. Pada
akhirnya, kesadaran akan perbedaan dalam diri masyarakat tidak dapat terbentuk
instan begitu saja. Sementara kondisi kesadaran masyarakat kian maju dan
terbuka dalam menerima kemajuan teknologi, tetapi tidak dengan kesadaran
bertoleransi.
Jika
ditinjau lebih jelas, terlihat masyarakat desa lebih akrab dengan kata damai
dan toleransi yang tinggi. Kearifan masyarakat desa memudahkan terwujudnya
bentuk implementasi dari toleransi antar agama. Masyarakat desa juga pada
umumnya adalah warga asli yang menduduki satu desa secara turun temurun.
Sehingga tidak heran apabila masyarakat desa mayoritas warganya menganut satu
keyakinan agama yang sama, yang mana biasanya dipimpin oleh sesepuh desa atau
tokoh agama yang dipercayai.
Berbeda
dengan masyarakat kota yang cenderung memiliki beragam agama yang bercampur
dalam satu wilayah. Warga kota yang menetapi suatu daerah biasanya adalah
penduduk luar daerah yang tinggal sementara. Meski tentunya ada penduduk asli
yang masih tinggal, namun banyaknya penduduk dari luar daerah akan meramaikan
perbedaan suku, budaya, dan agama.
Disinilah
yang bisa menjadi alasan mengapa masyarakat desa sulit terbuka dan menerima
penduduk dari luar yang kemudian tinggal di desa mereka. Karena memang sudah
dari awal, masyarakat desa terbiasa hidup sejalan, baik budaya dan agamanya.
Meskipun demikian memang tidak sedikit pula masyarakat desa yang menerima akan
adanya perbedaan. Banyak sekali kasus intoleransi yang hadir di Indonesia, dan
sebagian besar terjadi tanpa adanya publikasi karena masyarakat desa terbiasa
membiarkan apa adanya saja. Tidak mau repot-repot melapor dan berkoar-koar ke
media apabila menjadi korban intoleransi. Seorang guru yang beragama kristen
ditugaskan di desa yang mayoritas warganya beragama islam pada awalnya menjadi
fakta luar biasa yang beritanya seolah tidak habis dalam sepekan meski sudah
melewati desa sebelah. Meski pada dasarnya perbedaan yang mencolok tersebut
benar menghebohkan, namun tetap saja warga asli desa tersebut tidak serta merta
memandang si guru kristen dengan cemoohan. Begitulah yang sekiranya terlihat. Perbedaan
yang mencolok tidak menyurutkan niat mulia sang guru untuk mengajar di sebuah
sekolah menengah pertama setempat. Berbekal pengetahuan dan sikap terbuka warga
setempat, sang guru mengajar Pendidikan Kewarganegaraan bagi anak-anak warga
asli.
Masyarakat
desa yang ditempati sang guru cenderung masih toleransi pasif. Di mana warga
asli desa menerima atas dasar kenyataan perbedaan yang hadir. Mereka tidak
menentang anak-anak mereka belajar didampingi sang guru dan tetap menghormati
beliau sebagai guru pengajar, karena memang pada kenyataannya beliau adalah
guru yang berjasa mengajari anak-anak mereka. Meski menampilkan sesuatu yang
berbeda, sang guru setidak juga mampu menjaga kepercayaan warga asli setempat.
Diakui atau tidak, hubungan ini pada dasarnya tetap menunjukkan adanya give and
take. Di mana warga asli desa menerima kehadiran dan memberi kepercayaan kepada
sang guru, dan beliau menunjukkan sikap yang sesuai dengan visi dan misinya
menjadi seorang guru. Untuk menyesuaikan, selaku orang yang dipandang berbeda,
sang guru lebih dulu berinisiatif memposisikan diri dan menghargai persepsi
pribadi warga lain.
Ketika
desa tempat tinggal sang guru mengadakan kerja bakti atau penyelenggaraan
acara, beliau akan berbesar hati menanyakan perannya. Bahkan meskipun sudah
begitu, warga setempat tetap tidak memberikan kesempatan beliau untuk
berkontribusi. Dengan alasan sudah berusia senja, warga asli meminta sang guru
sekedar duduk saja di rumah mengamati jalannya acara. Tanpa diketahui publik,
tahun 2013 musibah kebakaran yang meruntuhkan gereja sang guru
menjungkirbalikkan sebuah bentuk implementasi toleransi warga desa yang sedari
awal memang masih samar. Meski kejadian ada di tengah mereka, namun warga
setempat seolah tutup mata dan enggan terseret dalam kasus tersebut. Bisa
dihitung jari jumlah warga asli yang membantu dan bergotong royong membantu
sang guru. Entah terjebak dalam pola pikir “bukan urusan kami” atau memang
sedari awal tidak menganggap sang guru menjadi bagian dari masyarakat sana. Hal
demikian masih belum membangkitkan kesadaran warga desa, masih sangat tidak
mampu untuk menggerakkan hati bertindak sesuatu yang setidaknya dilakukan
sebagai membantu guru anak-anaknya atau sesama warga negara Indonesia.
Apalagi
ketika waktu ibadah minggu yang biasa dilakukan umat kristen, sang guru yang
memiliki gereja pribadi tetap harus mengalah ibadah diluar kota apabila di hari
yang sama masjid di desanya mengadakan pengajian besar. Akan lebih indah
apabila warga asli mau ringan kaki menanyakan kesulitan sang guru. Karena
pandangan masyarakat desa yang kekeluargaan seharusnya mampu menampilkan sikap
yang sama pula. Terlebih lagi, islam adalah agama yang mayoritas di Indonesia,
ajaran islam pun selalu menganjurkan untuk senantiasa bertoleransi.
Segala
sesuatu yang berbeda seperti sudah sewajarnya untuk terlihat mencolok. Namun
apakah perbedaan itu akan menjadi persoalan yang menyulitkan atau tidak, sangat
tergantung pada kesadaran masyarakatnya. Terutama di desa yang terbiasa hidup
berdampingan dengan individu yang sama keyakinan agama dan budayanya. Mereka
ini akan sulit berpikiran terbuka. Kendati sifat ramahnya tetap bertahan dengan
kehadiran individu baru yang berbeda, namun akan butuh waktu yang sedikit lebih
lama untuk menyesuaikan. Perbedaan karakter juga berpengaruh. Di mana meski
mereka memiliki keyakinan yang sama dan menduduki tingkat mayoritas, namun
tidak semua individu mengesampingkan keyakinan agama yang minoritas. Karena
pada dasarnya sikap toleransi berawal tumbuh dari kesadaran individu.
Banyak
cara untuk mewujudkan sikap toleransi beragama, namun yang paling utama adalah
kesadaran individu. Di situlah nantinya setiap individu akan mempertimbangkan
dari segala aspek. Apakah tidak akan menggubris dan membiarkan diri tetap
berperan sebagai individu yang toleransi pasif, atau mengiyakan ajakan yang
timbul dari kesadaran diri untuk serta merta mengimplementasikan toleransi
aktif.
Sementara
kaum minoritas dalam sebuah desa berusaha agar tidak terlelap di balik riuh
perbedaan, sudah menjadi tugas bersama untuk kaum mayoritas saling mengingatkan
akan sikap toleransi beragama. Saling mengingatkan akan mampu meminimalisir
kemacetan terhadap tumbuhnya inisiatif dalam mengimplementasikan toleransi
beragam.
Sekaligus
menunjukkan bahwa di balik riuh gembor-gembor ungkapan cinta terhadap pancasila
setiap tanggal 1 Juni, benar-benar merealisasikan nilai-nilai pada butir
pancasila sila pertama. Ketuhanan yang Maha Esa.