Created by Rika Pramudya Aksanti
Editor by Atik Fadilah
Sumber: https://id.pinterest.com/pin/453104412520114964/
Rencang.id — Suara gemuruh di langit
yang gelap menggelegar, sesekali memancarkan kilatan cahaya yang begitu cepat,
Tiba-tiba hujan turun dengan sangat deras tanpa memedulikan air hujan yang
sudah mengguyur tubuh yang dilapisi jaket berwarna hitam. Biru melangkahkan kaki dengan pelan, entah apa
yang sedang ada di dalam pikirannya sekarang, dia tidak peduli jika ia nanti
akan jatuh terpeleset, pikirannya sedang kacau sampai-sampai ia tidak tau jika
ada mobil yang melaju kearahnya dengan sangat kencang.
Mobil
yang melaju kencang tersebut akhirnya mengerem dengan mendadak, mobil itu
berhenti tepat di hadapan Biru. Lalu
tidak lama mucul pria dengan setelan jas rapi yang keluar dari pintu mobil
berwarna merah menyala itu, pria tersebut berlari kearahnya dengan memasang
muka yang penuh amarah.
“Dasar
gadis lusuh kurang ajar, berani-beraninya kau menghalangi jalan saya! Apa kau
tidak punya mata! Hampir saja mobil ini rusak.” kata pria tersebut sambil
berteriak. Biru hanya memasang wajah datar kepadanya, Segera ia langkahkan kakinya
ke depan, tapi saat ia melalui pria tua itu, tiba-tiba ia dilempari roti tanpa
bungkus mengenai kepalanya, sehingga langkahnya pun terhenti kembali.
“Apa?
Kau sepertinya sedang lapar.” kata pria tua tersebut sambil menunjuk Biru dan
tertawa mengejek, Karena perkataan pria itu Biru menjadi marah, ia ingin sekali
melayangkan tinjunya ke wajah pria tua itu, tapi ia tahan,
“Saya
tidak butuh itu, Silahkan anda pergi.” Ujar Biru.
“Kenapa?
Saya sudah memberikan sesuatu yang langka bukan? Roti sudah tidak ada di
lingkungan kumuh seperti ini, jadi ayo ambillah!.” Perintah pria tua itu dengan
nada meremehkan.
Tiba-tiba
dari arah belakang Biru ada seorang kakek tua yang berlari kearahnya, ternyata
kakek tua tersebut akan mengambil roti yang sudah dilempar oleh pria tua tadi.
“Rotii?
Ini roti bukan? Aku sudah lama tidak melihatnya.” kata si kakek dengan berwajah
riang, sembari membersihkan lapisan roti yang terkena tanah basah akibat hujan
dengan tangan keriputnya.
“Tidak!
Jangan makan itu!!” Teriak Biru kepada sang kakek.
“Ambillah
kamu pantas menerima itu,” kata pria tua sambil menyeringai.
Biru
kemudian merebut roti tersebut dari tangan kakek, dia kemudian melemparkan roti
itu ke arah yang lebih jauh, dan segera ia mengenggam tangan sang kakek.
“Mari
kek, saya mempunyai banyak kentang, mari kita pergi dari sini.” kata Biru
sembari menuntun sang kakek.
“Oh,
sebaiknya anda segera pergi, dari pada basah kuyup seperti itu. jas mahal anda
akan rusak nanti, dan anda tidak usah memberi roti kepada orang lusuh seperti
saya, saya sudah memiliki cukup makanan!” ujar Biru.
“Kau
memang gadis lusuh yang cocok di lingkungan kumuh, ugh! kenapa saya harus
berlama-lama berada di sini bersama kalian.” Pria tua tersebut akhirnya pergi
dan melajukan mobilnya dengan kencang.
------
Saat
sampai di rumah susun yang Biru tinggali, dia langsung masuk ke dalam rumah dan
memanggil Defeny yang memang sudah dianggap sebagai adik kandung oleh Biru, sama seperti kakek tua tadi dan semua orang
yang ada di rumah susun ini, mereka adalah keluarga Biru. Mungkin memang aneh,
tapi tidak dengan Biru, karena mereka semua sudah menemani Biru semenjak
peristiwa kelas setahun yang lalu, dan di rumah susun inilah mereka tinggal bersama.
“Hei
Def, lihatlah apa yang kubawa, makanlah ini selagi hangat!” kata Biru kepada
Defeny.
Defeny
yang sedang asyik menggambar ditemani oleh cahaya lilin itu segera berlari ke
arah kakanya, Biru pun memberikan sekantong plastik berisi kentang tersebut
kepada Defeny.
“Kau
bilang ini masih hangat kak? Lihatlah,” Defeny pun segera membalikan kantong
plastik tersebut dan air pun keluar dari sana.
“Astaga!
Itu… kenapa aku tidak tau? wahh!”
Defeny
yang melihat kakaknya itu hanya bisa mengeleng-gelengkan kepala.
“Aku
akan menghangatkannya,” kata paman Joshep.
Defeny
segera mengajak kakaknya untuk ke ruang tengah agar berkumpul dan makan
bersama, tapi Biru menolaknya, dengan alasan
sudah makan. karena sepertinya hujan sudah reda, akhirnya Biru keluar
dari dalam rumah dan menuju ke atas rumah susun tersebut, Setelah sampai Biru
bersandar di ujung tembok pembatas hanya pemandangan gelap yang dapat ia lihat,
tidak ada lagi lampu-lampu indah yang menyala. Biru menghela nafas dengan kasar
dan mengusap wajahnya yang dingin. Bayangan masa kelam kini mengitari isi
kepalanya, sudah satu tahun berlalu, tapi masih teringat jelas bagaimana
peristiwa tersebut dapat merenggut kebahagiaannya, dan ada rasa kecewa di balik
kesedihan itu. Walaupun sedih Biru sudah sangat bersyukur karena dipertemukan
keluarga baik seperti mereka, dan mereka adalah alasan satu-satunya Biru untuk
bertahan di dunia ini.
Biru
benar-benar sudah cukup lelah dengan semua ini, bayangkan saja setiap hari dia
harus mengorbankan nyawanya demi si nenek keriput berambut pirang itu. Seharusnya,
dulu dia tidak merima tawaran tersebut. Biru menjadi teringat bagaimana dulu dia
bisa bertemu dengan si nenek keriput itu, Biru pikir dia adalah malaikat
bersayap, nyatanya dia adalah malaikat berhati iblis.
Setahun
yang lalu peristiwa besar telah terjadi di kota ini, ya perang dunia ke III,
karena perang tersebut telah menyebabkan banyak manusia tak bersalah akhirnya
tumbang, tak terkecuali kedua orang tua Biru. Selain krisis ekonomi, peristiwa
tersebut juga memunculkan banyak pelaku kejahatan, para penjahat saat ini lebih
berkuasa, tidak ada yang bisa menandinginya. Bahkan para pemerintah saja
kewalahan mengatasinya, sampai-sampai ada yang mundur dari kursi jabatan.
Sekarang
apa yang diharapkan dari kota yang sudah hancur? Lingkungan yang kumuh, banyak
warga miskin, dan jeritan kelaparan selalu terdengar setiap harinya, rasanya benar-benar
sangat memuakkan.
“SRTTTTT…”
Suara bising yang berasal dari balik kantong celana Biru membuyarkan
pikirannya, segera ia keluarkan benda hitam tersebut dari kantong celananya.
Walkie talkie, ya suara tersebut berasal dari benda berwarna hitam itu.
Ah,
lihatlah suara benda tersebut sangat membuat mood Biru turun seketika, dengan
rasa malas ia memencet salah satu tombol,
“Bersiaplah
untuk besok!” Satu kalimat tersebut keluar dari benda berwarna hitam itu. Biru
yang mendengarnya hanya bias menghela nafas denga gusar. Lihatlah kali ini Biru
akan merubah semuanya, dia tidak akan peduli dengan nenek tua itu lagi.
------
Pagi
pun tiba. Setelah bersiap memakai jaket hitam, Biru segera berjalan ke luar
rumah dan berlari dengan kencang menuju hutan. Sesampainya di hutan, Biru
dihadapkan dengan mobil berwarna putih, dengan seorang wanita berpakain formal
berambut pirang yang tengah berdiri membelakangi mobil tersebut.
Benar
wanita itu adalah nenek tua keriput
berhati iblis. Biru segera menuju kearah wanita itu, kemudian ia menyerahkan
sebuah map berisi dokumen tebal berwarna coklat dengan logo api di pojok kirinya,
Biru pun lansung menerima map tersebut.
“Serahkan
itu kepada Red wolf seperti biasa, dan jangan buka map itu. Kali ini targetnya rumah baru berwarna putih
yang berada di distrik 4. Baiklah, kau boleh pergi sekarang. Jika berhasil,
kali ini kau akan mendapatkan daging dan roti.” Ucap wanita tua itu.
“Ya
aku akan pergi, selamat bersenang-senang menikmati hidup!” balas Biru.
Biru
pun segera melancarkan aksinya, setelah dia menyerahkan dokumen tersebut kepada
Red Wolf, Biru segera pergi menuju rumah putih itu. Kali ini dia menyamar
sebagai seorang pelayan, rumah putih yang dia datangi adalah tempat yang
dijadikan sarang penjahat Black Tunder, yang diketahui juga bahwa bos dari
penjahat itu adalah salah satu dari wakil pemerintah kota ini. Biru juga sudah diberi
identitas oleh nenek tua itu, agar bisa leluasa masuk ke tempat tersebut.
Tugasnnya kali ini lebih mudah dari biasanya, dia hanya perlu masuk ke sebuah ruangan
yang berisi brangkas uang, dan sisanya akan dibereskan oleh orang suruhan nenek
tua itu.
Setelah
menunggu aba-aba dari timnya, Biru pun segera melancarkan aksinya, dia berpura-pura
untuk membersihkan ruangan. Saat dirasa semua sudah aman ia melangkah menuju
ruang kerja pemimpin Thunder. Dengan cepat dia masuk ke ruangan itu dan segera
mengecek seisi ruangan. Beberapa menit kemudian, akhirnya ia menemukan brankas itu
di bawah meja, yang tepatnya terletak di bawah lantai kayu, ketika ia
membukannya.
Biru
terkejut lantaran isi brankas tersebut hanya sebuah tas backpack gunung yang
panjang, dia bingung apa ini yang harus ia ambil? Saat membawa keluar tas
tersebut dari brankas, ternyata tas itu sangat berat. kemudian Biru membuka isi
tas tersebut, yang ia lihat pertama hanya kain berwarna hitam, tapi saat ia akan
mengambil kain itu, ia terkejut karena banyak sekali uang yang ada di dalam tas
itu. Tidak butuh waktu lama, dia segera menggendong tas tersebut di belakang
punggungnya. Saat akan melangkah melewati jendela, tiba-tiba suara sirine
berbunyi nyaring. Tidak, ia harus segera bergegas keluar, kalau tidak dia akan
ketahuan. Akhirnya dia pun berhasil keluar dari jendela denga bantuan tali
panjang, tapi kemuadia saat dia akan berlari, tangannya tertembak oleh sebuah peluru,
Biru segera merunduk dan berbalik arah ke belakang.
Ini
adalah saatnya. kali ini Biru harus berhasil, bukan hanya daging dan roti yang ia
dapatkan, semua makanan kali ini akan dia dapatkan. Biru segera memencet benda
hitam dengan lingkaran di tengah berwarna merah itu tiga kali.
BUMMM!!!
Bentuman
ledakan yang sangat keras itu mampu merobohkan rumah berwarna putih itu, rumah tersebut
akhirnya menjadi rata dan hancur. Bahkan tubuh biru ikut terpental karena
ledakan yang ia buat.
BUMMM!!!
DUARR!!!
Dentuman
seperti tadi mulai terdengar lagi, tapi kali ini bukan berasal dari rumah putih
tersebut, melainkan dari tempat yang berbeda. Benar, Biru sudah memasang bom di
tempat Red Wolf dan mobil si nenek tua keriput itu. Rencana itu sudah Biru
susun dari dulu dan sekarang akhirnya berhasil. Rasa lega bercampur sedih
menghiasi wajah Biru, ia segera berlari menjauhi tempat tersebut menuju ketengah
hutan, lebih tepatnya menunju ke rumah susun, saat tiba di sana ia segera
memanggil pamannya, Joshep
“Kemarilah!
aku mempunyai sesuatu,” kata Biru, paman Joshep pun segera menghampirinya.
“lihatlah
isinya!” perintah Biru.
“Astaga!
apa ini biru! apakah ini uang asli?” tanya pama Joshep yang terkejut melihat
isi tas itu.
“Yap!
Jangan hanya diam saja paman, bagikan ini semua kepada para warga.” ujar Biru.
“Tidak!
Kau mencurinya, itu tidak boleh,” balas paman Joshep sambil memegangi kepalanya.
“Dengar,
Aku tidak mencuri. ini adalah uang kita dan seharunya milik kita semua!” ucap
Biru yang berusaha untuk meyakinkan pamanya itu.
“Tidak
biru!! Kamu tidak boleh seperti ini,” kata paman dengan frustasi.
“Bagikan!
Atau kita semua akan kelaparan, kau juga tau semua warga yang berkerja hanya
diberi jatah sepuluh biji kentang, apa itu cukup? apa itu layak? sedangkan
mereka yang menyuruh kita bekerja, mendapat makanan enak dan tidur dengan
nyaman. Dan sedangkan kita harus tersiksa menahan ini semua?” ujar Biru dengan
keras.
“Biru,
Tapi itu sudah aturan dari—"
“Aturan?
persetan dengan semua itu. Apa kau mau hidup seperti itu terus?” tanya Biru
yang memotong perkataan pamannya.
“Tidak,
aku juga tidak menginginkan hidup seperti ini. Baiklah aku akan bagikan ini
semua pada warga.” Jawab paman Joshep.
Akhirnya
semua warga merasa sangat senang karena bisa mendapatkan uang tersebut, mereka
merayakannya dengan makan bersama. Dan saat itu pula, Biru berencana untuk pergi
dari tempat itu. Defeny kebingungan kenapa kakanya ingin pergi, padahal pesta
besar akan seger dimulai. Biru segera berpamitan kepada keluarganya, dan Biru
berjanji tidak akan melupakan mereka karena dia sudah menganggap seperti
keluarga, Biru berkata kepada mereka bahwa ada hal lain yang harus dia
selesaikan.
-END-