Pada 5 Oktober 2020, RUU Cipta Kerja Omnibus Law disahkan dengan diwarnai banyak drama. Mikrofon dimatikan oleh ketua DPR RI Puan Maharani saat fraksi Demorat hendak menyampaikan penolakan terhadap pengesahan UU Omnibus Law. Walk out dilakukan oleh dua fraksi yg menolak pengesahan RUU Omnibus Law, yaitu fraksi Demokrat dan PKS. Penolakan dilakukan olah masyrakat dalam bentuk demonstrasi. Banyak korban berjatuhan dalam aksi demonstrasi. Penculikan jurnalis mahasiswa Universitas Gema saat meliput jalannya demonstrasi dan masih banyak drama yang mungkin belum terkabarkan.
Penolakan didasari isi undang-undang yang cenderung memihak kepentingan pengusaha dan investor namun menekan kesejahteraan pekerja. Poin- poin yang terdapat dalam 15 bab dan 175 pasal ini dirasa banyak yan memangkas has pekerja untuk dapat bekerja dengan layak dan nyaman dalam klaster ketenagakerjaan. Tidak tercantumnya izin cuti hamil, cuti haid, hak menyusui merupakan contoh penekanan bagi perkerja terlebih pekerja perempuan. Dihapusnya pasal PKWT (Pekerja Waktu Tertentu) memberi peluang yang besar bagi perusahaan untuk dapat memeras tenaga pekerja dalam wakktu yang tidak pasti.
Grusah-grusuh, di tengah pandemi Covid-19 yang angkanya semakin meningkat, pemerintah dirasa tidak perduli dengan pandemi Corona dan sangat berhasrat untuk mengesahkan UU kontrofersial ini. Pengalihan issue atau sudah tak tahan untuk mendapatkan penghasilan sampingan bagi para petinggi negara?
Tak hanya Omnibus Law, sebelumnya di tahun 2019 terdapat banyak RUU yang menimbulkan penolakan di masyarakat bahkan mengakibatkkan demonstrasi besar-besaraan di seluruh Indonesia. Antara lain RUU KPK, RUU PKS, daan RUU KUHP. Ataukah lebih baik para wakil rakyat itu tidur saat sidang dari pada bekerja tapi menggegerkan seluruh Indonesia? Mikrofon dimatikan, jurnalis diculik, mahasiswa orasi dipentugi dan ditembaki, arogansi bagaimana lagi yang akan kau tunjukan wahai wakil rakyat?
Penulis : Adis Wahyu
Editor : Alfida Nur Cholisah