Bulan Ramadhan tahun lalu (2019), beberapa masjid di daerah Solo pernah mengadakan program berbagi kuota internet dengan menggandeng salah satu penyedia layanan jasa telekomunikasi. Hadiah itu diperuntukan bagi orang yang bersedia membaca Al-Quran. Setiap orang yang membaca Al-Quran satu juzz akan diganjar free kuota data internet sebesar 12 GB. Al-Quran yang notebene kitab suci dibuat ajang promosi produk dalam balutan agenda keagamaan.
Muhammad Milkhan melalui buku kumpulan esai Beragama: Bertoleransi (2019) mengkritik tajam kegiatan tersebut. Ia menulis, ”Membaca al-Quran memang kegiatan mulia. Hanya, jika membaca al-Quran lantaran ingin mendapatkan iming-iming hadiah (selain dari Allah), tentu kemulian itu akan luntur dengan sendirinya bahkan sebelum Al-Quran sempat terbaca." (hlm 40)
Bagi Milkhan, sangat tidak pantas membaca Al-Quran hanya sekadar ingin merengkuh keuntungan duniawi semata. Selain itu keadaan seperti ini telah menggeser posisi Al-Quran. Al-Quran yang dikenal sebagai kitab suci dan seharusnya dimuliakan, kini dijadikan sarana marketing untuk keberhasilan bisnis semata. Hal demikian menunjukkan pemahaman keagamaan yang dangkal. Jika kejadian seperti ini terus-menerus dibiarkan begitu saja, maka muruah Al-Quran akan merosot. Akibatnya, orang akan memandang kitab suci itu hanya sebatas kertas yang bertuliskan huruf hijaiyah, tidak lebih.
Bersedia membaca Al-Quran dengan embel-embel mendapat kuota data internet 12 GB, tentu saja perlu dipertanyakan niatnya. Apakah pantas membaca Al-Quran hanya karena iming-iming hadiah kuota internet semata?
Bukan sesuatu yang sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hanya saja, kita membutuhkan akal sehat untuk menjawabnya. Jika akal sehat kita berfungsi dengan baik, tentu tidak akan membenarkan praktik demikian. Ironisnya, seringkali akal sehat tidak dilibatkan dalam melakukan berbagai tindakan. Lazim diketahui Al-Quran adalah kalam Allah yang mengandung sumber hukum Islam. Di dalamnya terdapat anjuran dan rambu-rambu kehidupan sebagai tuntunan agar manusia senantiasa on the track atau pada jalur yang benar.
Program berbagi kuota internet dengan dibalut membaca Al-Quran yang diadakan di bulan Ramadhan tentu saja menarik perhatian banyak orang. Pasalnya, pada bulan Ramadhan mereka berlomba-lomba untuk membaca Al-Quran. Bedanya, dulu, semangat membaca Al-Quran murni untuk memuliakan bulan Ramadhan dan mencari ridha Allah, kini hal semacam itu tergantikan dengan kuota data internet.
Mengenai hal ini, Milkhan menjelaskan, ”Bulan Ramadhan menjadi momentum yang begitu spesial. Di bulan inilah Al-Quran pertama kali diturunkan ke muka bumi, kitab suci paling sempurna diantara kitab suci lain yang pernah diturunkan kepada rasul-rasul sebelum Muhammad," (hlm 41). Tak heran jika pada bulan Ramadhan hampir semua masjid dan mushola ramai, dipenuhi orang-orang membaca Al-Quran dengan pengeras suara yang menggema. Ayat-ayat suci Al-Quran dibaca, bersahutan antar masjid satu dan masjid yang lain.
Jika membaca Al-Quran hanya sebatas ingin mendapatkan kuota data internet, tentu saja, menurut Milkhan, kita perlu menelaah makna membaca yang sesungguhnya. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), membaca memiliki arti melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati). Dalam konteks ini, Milkhan menuturkan, ”Membaca mengalami pengaburan makna, manakala membaca hanya sebuah ritual untuk merengkuh keuntungan material semata. Terlebih al-Quran yang menjadi objek bacaan terkesan hanya dijadikan syarat menggapai hadiah.” (hlm 43)
Bagi Milkhan, membaca Al-Quran dengan iming-iming kuota data internet sulit untuk membayangkan si pembaca benar-benar tulus melihat serta memahami makna yang terkandung dalam bacaan yang sedang ia baca. Lebih lanjut, hadiah kuota data internet nampaknya lebih dominan untuk dijadikan motif utama para pembaca.
Menanggapi fenomena demikian, penulis yang tinggal di Klaten itu mengajak kita agar menjadikannya sebagai bahan perenungan. Bila hal semacam itu luput dari perenungan kita, mungkin kelak akan dijumpai hal yang sama, agenda-agenda ekonomi yang dibalut dengan agama. Padahal manusia di dalam hidup harus senantiasa beribadah kepada Allah dan melakukan segala sesuatu karena Allah.
Tidak hanya itu, Milkhan juga mewanti-wanti jika hal-hal semacam itu dibiarkan kelak akan dijumpai umat yang pemalas. Umat yang enggan berangkat ke masjid, majlis taklim untuk beribadah karena tidak ada embel-embel hadiah yang mengiringinya. Bahkan, tidak mau membaca al-Quran karena tidak ada doorprize berupa kouta internet 12 GB.
BUKU
Buku : Beragama: Bertoleransi
Penulis : Muhammad Mikhan
Cetakan : 1: 2019
Tebal : 98 halaman
ISBN : 978-623-7258-18-6
Penerbit : Bilik Literasi
Penulis : Nur Kholis
Editor : Alfida Nur Cholisah