Jadi Guru TK Tidaklah Mudah

Images

Pendidikan adalah suatu upaya untuk membantu memanusiakan manusia. Begitulah yang dikatakan Ahmad Tafsir dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam. Kebayang gak sih jika kita tidak mendapatkan pendidikan sejak dini? Tidak merasakan betapa bagahianya bermain sembari belajar, tepuk-tepuk, bernyanyi, menggambar, atau olahraga berkeliling desa setempat sambil menyanyikan lagu “Kalau Kau Suka Hati”. Lalu melanjutkan pendidikan ke jenjang SD, SMP dan SMA. Sukur-sukur bisa ikut merasakan bangku perkuliahan.

Tentunya pendidikan bukan hanya diartikan sebagai pembelajaran di sekolah saja. Pendidikan yang diberikan oleh orang tua sejak kecilpun menjadi peran penting dalam pertumbuhan karakter seseorang. Penelitian psikologi perkembangan anak menemukan bahwa perkembangan otak anak yang paling cepat adalah pada usia 0-6 tahun, di usia ini masyarakat biasa menyebutnya “The Golden Age” (Sayadi, 2011).

Oleh karena itu tidak heran jika mulai sering bermunculan lembaga pendidikan anak usia dini. Bahkan lembaga ini sudah mendapat legalitas dan perlindungan undang-undang dari pemerintah. Tak jarang orang tua rela mengkocek harga lebih untuk menggunakan jasa les privat bagi putra putrinya. Apalagi yang orang tuanya dibuk bekerja, jangankan untuk mengajari anak-anaknya belajar, mengurus kerjaan yang tak kelar-kelar saja sudah bikin mumet. Disinilah peran guru les menjadi sangat berarti. Daripada memaksakan diri mengajar anak dan berujung dengan omelan-omelan, lebih baik pasrahkan saja pada guru les.

Fenomena seperti ini sering saya jumpai saat diminta untuk mengajar les privat dari rumah ke rumah. Bagi saya pribadi yang saat ini kerja serabutan sambil nyicipi bangku perkuliahan, menjadi guru les tidak hanya prihal material berupa uang namun juga pengalaman spiritual. Kita belajar bagaimana mengontrol emosional diri, membangun kreatifitas, dan belajar menjadi ibu yang baik. Huahaha.

Saya sudah menjadi guru les sejak delapan bulan yang lalu. Memang belum terlalu lama sih, tapi bisa lah untuk berbagi cerita di esai ini. Bagi mahasiswa proletar seperti saya, rasanya malu jika hanya mengandalkan pemberian dari orang tua. Udah gak berprestasi, nyusahin lagi. Jadi saya ‘inisiatip’ untuk kerja paruh waktu sebagai guru les. Biasanya saya membantu anak-anak tetangga sekitar rumah yang kesulitan mengerjakan PR, atau mereka sengaja datang untuk minta bimbingan belajar sebelum ujian sekolah berlangsung. Rata-rata dari mereka adalah siswa-siswi SD (Sekolah Dasar)/MI (Madrasah Ibtida’iyah) yang letaknya pun tak jauh dari rumah. Namun, sejak beberapa minggu lalu, saya diminta untuk mengajar les anak TK (Taman Kanak-Kanak). Mendengar kata “TK” saja sudah membuat saya ngelus-elus dada, apalagi harus menjadi guru lesnya. Auto bathuk jembar mergo kakehan sabar.

Tapi bagi saya ini adalah kesempatan untuk mengeksplor kemampuan dalam diri. Meskipun secara fisik anak kecil itu menggemaskan, namun hal itu akan berubah jika kita berinteraksi secara intens dengan mereka. Bisa jadi bukan hanya menggemaskan tapi juga menjengkelkan. Biar bagaimanapun bocil-bocil (bocah kecil) itu adalah pewaris bangsa yang sudah sepatutnya kita jaga kualitasnya. Nah, ngene kan solutip.

Pendidikan sejak dini memanglah penting bagi perkembangan anak. Apalagi saat ini beberapa SD/MI mengharuskan calon siswa-siswinya untung bisa menguasai Calistung (baca, tulis, dan hitung) sejak di taman kanak-kanak. Meskipun hal ini bertentangan dengan peraturan pemerintah No. 17 tahun 2010 pasal 69 dan 70, yang menyatakan bahwa untuk masuk SD/MI tidak berdasarkan pada hasil tes kemampuan membaca, menulis dan berhitung, atau bentuk tes lainnya. Namun, lagi-lagi perkembangan zaman mengharuskan kita untuk semakin cepat dalam segala hal.

Sistem belajar daring saat ini menurut saya sangat menghambat perkembangan anak, khususnya usia 0-6 tahun. Di usia itu, anak-anak seharusnya bisa dengan riang bermain dan belajar bersama teman-teman sekelasnya. Akibat pembelajaran daring, anak-anak di sekitar tempat tinggal saya lebih banyak bermain, bahkan malas untuk belajar. Bagi mereka belajar adalah hal yang membosankan, dunia luar lebih mengasyikan. Peran orang tua sangat diperlukan dalam hal ini. Anak dengan usia emas itu seharusnya bisa kita bimbing dengan memberikan pembelajaran yang menarik, kreatif dan inofatif meskipun hanya di rumah. Susah juga sih kalau ibu-ibunya gak mau repot. Serahkan semuanya pada guru les, padahal waktu anak lebih banyak dengan orang tuanya. Mana bisa sepenuhnya diserahkan pada guru les. Guru les juga perlu bantuan orang tua dalam mendidik putra-putrinya bukan?

Setelah beberapa minggu menjadi guru les TK, mengubah mind set saya yang menganggap guru TK itu gampang. Tidak perlu repot-repot memikirkan strategi cepat rumus matematika, mengerjakan soal bahasa Indonesia tanpa membaca teks secara keseluruhan, atau grammer bahasa Inggris yang bikin kepala botak.

Ternyata mengajari bocil-bocil itu tidak semudah yang dibayangkan. Dibutuhkan kesabaran dan tenaga yang tak ada habisnya. Bagaimana tidak menguras tenaga? Di saat guru lain hanya mengajar di depan kelas dengan papan tulis atau laptop. Guru TK harus interaktif dengan murid-muridnya. Ikut berkeliling mengawasi satu persatu generasi bangsa itu, mengajaknya bermain agar mau belajar setelahnya, atau menyumbangkan suara sumbang mereka demi membuat siswa-siswinya senang berada di dalam kelas. Bahkan yang lebih ekstrem lagi, menggantikan celananya saat pipis di kelas. Aduh, terpujilah wahai engkau ibu bapak guru.

Pengalaman saya menjadi guru les TK memang tidak ada apa-apanya dengan guru TK sebenarnya. Tapi percayalah, ini tidak mudah. Selain dituntut untuk selalu sabar, guru TK juga harus terus kreatif dalam mengajar. Kalau hanya duduk rapi dengan buku di atas meja mah, semua guru juga bisa. Tapi guru TK atau PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) selalu punya ide-ide kreatif dalam mengajar. Salah satu contohnya adalah Ibu Fitri. Seorang kepala sekolah TK di daerah Banyudono, Boyolali yang tetap memberlakukan sekolah offline di tengah pandemi ini. Menurutnya, kasihan jika anak-anak keluar ke sana ke mari hanya untuk bermain dan tentu tidak memperhatikan protokol kesehatan. Lebih baik tetap sekolah tatap muka dengan mematuhi protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah. Ibu Fitri ini lah yang menginspirasi saya dalam mengajar. Meskipun basic saya bukanlah pengajar. Namun kepedulian terhadap sesama bisa mengalahkan segalanya. Dan akan sangat memuaskan jika melihat anak didiknya tumbuh menjadi pemikir, pelaku dan pemecah masalah yang mandiri dan percaya diri.

Penelitian terbaru mendukung konsep bahwa permainan yang terencana, bertujuan dan produktif merupakan bagian penting dari lingkungan pembelajaran anak usia dini. Anak-anak harus menyelidiki, melakukan percobaan, dan membuat penemuan baru bagi diri mereka sendiri melalui interaksi menyenangkan dengan lingkungan dan orang lain untuk mempertajam kepekaan pada dunia mereka. Hal ini bisa dilatih dengan permainan seperti puzzle, bermain rumah-rumahan, mencermati buku bergambar yang berwarna-warni, menyirami tanaman, memberi makan binatang,menari dan masih banyak lagi. (Nielsen, 2008)

Saya jadi teringat kata-kata Aristoteles, “Mendidik pikiran tanpa mendidik hati bukanlah mendidik.” Jadi percuma saja jika saya terus mendoktrin bocil-bocil itu dengan pelajaran apabila saya tidak bisa merebut hatinya untuk tidak membenci belajar.

 

Oleh: Alfida Nur Cholisah

Lebih baru Lebih lama